Ada 12 hukum yang dibuat masyarakat batak sebagai tatanan
hidup sehari-hari agar menjadi masyarakat yang bersih dan berwibawa
sebagai keturunan Raja, karena yang merancang hukum ini adalah seorang
Raja yang bernama si Raja Batak. Inilah faktor penyebab setiap orang
batak disebut anak raja.
1. Sukkun mula ni hata, sise mula ni Uhum,
Artinya:
Untuk mengambil suatu keputusan harus dengan musyawarah,
2. Jongjong adat nasotupa tabaon, nahot naso jadi husoron,
Artinya;
Adat yang telah dirancang moyang dari dulu, walaupun tidak tertulis tapi tak boleh dirubah,
3. Boni naso jadi dudaon,
Artinya;
Seseorang tidak boleh mengganggu kehidupan dan mata pencaharian orang lain,
4. Parinaan ni manuk naso jadi siseaton,
Artinya;
Segala sesuatu yang telah dirancang oleh nenek-moyang tidak boleh kita hilangkan atau ditiadakan,
5. Tokka do dohonon Goar ni Inang Bao, tung pe binoto,
Artinya;
Tidak akan membeberkan suatu rahasia walau sudah jelas ada bukti, kalau nanti itu akan membawa/mengakibatkan kekacauan dan perpecahan,
6. Somba marhula-hula elek marboru manat mardongan tubu,
Artinya;
Falsafah Dalihan na Tolu adalah pondasi kehidupan masyarakat Batak yang harus di junjung tinggi,
7. Jeppek Abor naso silakkaon, na ni handing sosirasrason napinarik pe sotolbakon,
Artinya;
Sekecil apapun hukum tatanan yang telah disepakati, karena itu adalah hasil musyawarah maka tidak boleh dilanggar,
8. Dang sitodo turpuk siahut lomo ni roha,
Artinya;
Kita harus tabah akan apa yang telah kita terima dan nikmati, karena segala kehidupan manusia ada ditangan Tuhan (Mulajadi Nabolon),
9. Pattun hangoluan, tois hamagoan, unang pesalihon nalonga, jala unang ho makkilang,
Artinya;
Kita harus lemah lembut dan sopan santun diharapkan juga tidak akan mengambil riba/keuntungan dari orang miskin,
10. Nasojadi paboaon nasopatut tu ina-ina, alai muba do molo tu ina,
Artinya;
Jangan memberi informasi yang bersifat rahasia kepada orang yang suka atau sering menggosip,
11. Mar-Bo lao tu Tapian, ehem laho tu jabu,
Artinya;
Harus membiasakan diri dalam tata karma yang sangat hati-hati agar tak terjerumus dalam perbuatan amoral,
12. Alai li alai lio, singir gabe utang molo so malo,
Artinya;
Berusahalah jadi orang yang pintar dan bijak, karena orang bodoh akan selalu jadi santapan orang pintar.
Jumat, 31 Juli 2015
Senin, 20 Juli 2015
MAKNA DAN FUNGSI TAROMBO (UNANG HO GABE "DALLE")
Tarombo adalah silsilah batak keturunan atau marga batak yang turun temurun diwariskan bagi orang batak. Dan sangatlah baik untuk mengetahui sejarah setiap marga yang ada di suku batak. Dan ini dapat memberikan informasi untuk kaum muda agar mengetahui siapa dia dan siapa teman, atau orang2 disekitarnya.Tarombo dan silsilah bagi orang Batak merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mereka bersosial dan memaknai marga bukan sekedar tempelan akhir sebuah nama.
Marga memiliki makna yang dalam dan luas. Mempertahankan nilai budaya, memelihara kasih antar sesama keturunan, menjaga pengrusakan tutur karena tutur merupakan sebuah esensi dalam budaya Batak, mengeratkan kasih antar sesama terlebih satu kakek buyut, sebuah cara pandang terhadap suatu marga karena suatu marga merupakan sebuah representasi historis dan kebesaran, dan makna-makna penting dalam kehidupan lainnya. Secara garis besar, martarombo atau melihat silsilah merupakan sebuah upaya untuk kehidupan yang lebih bermakna. Itulah sebabnya, bagi orang Batak ada istilah ‘halak hita’ dan ‘halak sileban’. Halak hita mengacu pada kemurnian keturunan orang Batak, sementara halak sileban secara acuan untuk orang non Batak. Jika halak hita tersebut tidak memelihara tarombo dan silsilahnya maka label yang disandangkan menjadi ‘dalle’, yaitu orang Batak yang tidak mengindahkan budayanya. Label dalle sangat dibenci orang Batak, namun faktanya banyak orang secara tidak sadar men-dalle-kan diri dengan tidak mengajarkan budaya Batak didalam keluarganya, hal ini disebabkan alasan jauh dari kampung halaman (luar
Tapanuli dan Medan).
Dahulu, orang Batak dilarang menikah dengan halak sileban, hal ini untuk menjaga kemurnian keturunan. Mungkin dengan kawin campur akan membuat keturunan abai mengenai adat dan silsilahnya. Jika seorang laki menikah dengan non Batak, otomatis mengikuti garis ayah dan marga tetap eksis, sehingga garis keturunan terpelihara. Namun jika seorang perempuan menikah dengan non Batak maka otomatis perempuan tersebut tidak menggariskan marga dan secara silsilah akan hilang. Garis silsilah memang mengikuti marga laki-laki, namun jika seorang perempuan tidak melahirkan seorang yang bermarga maka hal tersebut merupakan sebuah ketidakberuntungan hidup bagi orang Batak. Selain itu, jika orang Batak memiliki ibu boru Batak, maka mereka memiliki Tulang, dimana posisi Tulang sangat sentral dalam adat dan budaya Batak. Sehingga jika seseorang yang ‘Tulangnya’ bukan orang Batak maka akan sangat riskan dan sulit dalam adat.Pernikahan laki Batak dengan perempuan asing akan mempersulit tutur Tulang yang tidak ‘afdol’, misalnya orang Batak riskan memanggil Tulang yang tidak bermarga.Namun hal ini masih dapat
diterima karena masih memiliki marga anak laki tersebut. Sementara pernikahan perempuan Batak dengan laki asing akan jauh lebih sulit dan kurang diterima, karena keturunan tersebut otomatis akan hilang dari silsilah marga (keturunan tersebut tidak bermarga). Maka sering kali orang Batak menyematkan marga terhadap orang yang non Batak, baik mantu Laki atau mantu Perempuan. Pertama untuk menghindari malu, karena kawin campur tersebut memiliki banyak efek kurang dalam adat. Kedua untuk menjaga garis keturunan tetap terpelihara (tidak putus dan hilang). Hal ini mengacu pada kebesaran marga mereka (keagungan).Sangat dapat diterima jika orang tua Batak menganjurkan anak-anak mereka menikah dengan orang Batak juga. Hal ini disebabkan upaya pelestarian budaya marga dan silsilah tersebut. Kemudian, Rasa terima beradat sangat kental dalam kehidupan orang Batak, akan sangat riskan bagi orang Batak menuturkan sebuah panggilan Batak (Oppung, Amang, Inang, Lae, Pariban, Haha, Anggi, Besan, Tante, dll) kepada orang non Batak. Kebanyakan akan berkata ‘hallung do manjouhon i’ tu halak sileban, artinya sangat riskan panggilan tersebut kepada orang asing tersebut. Kenapa? karena bagi orang Batak sebuah panggilan itu dimaknai dan dihidupi.
Kembali ke tarombo dan silsilah, para leluhur kita Batak mewariskan tarombo dan silsilah untuk keturunannya hidup rukun dalam kasih. Sejauh manapun orang merantau maka dengan sematan marga
ikatan kasih persaudaraan akan tetap melekat. Hal ini terealisasi dengan kerapnya orang Batak
membentuk perkumpulan semarga, dalam bahasa majunya arisan.Namun ternyata tarombo dan silsilah ini digunakan para leluhur tidak hanya sebagai ikatan kasih persaudaraan, Fungsi utama lainnya adalah untuk tidak mengacaukan tutur (manegai partuturon) dan menjaga keturunannya tidak terjual sebagai budak bagi orang lain.Tutur dalam orang Batak sangat esensi, sebuah panggilan memiliki makna sosial baik itu posisi,
sikap hidup, tanggung jawab dan kewajiban beserta hak sosialnya. Tutur tersebut merepresentasikan makna-makna diatas.
Pada jaman dulu sering terjadi jual-beli budak antar raja raja daerah. Dengan marga maka orang akan mengetahui seseorang tersebut dalam sosialnya. Mungkin keturunan raja, penguasa, orang terhormat, pengaruh besar, famili, dan sebagainya. Maka para leluhur mewarikan marga ini menjaga keturunannya dari berbagai ancaman luar tersebut. Jika keturunan penguasa pergi merantau jauh, dengan sematan marga maka tiap-tiap daerah akan mengenalnya dan perlakuan yang tidak semena-mena. Selain mungkin karena dia itu seorang keturunan tertentu namun juga sebagai famili atau klan marga tertentu yang mana partuturan dapat dijalankan. Maka dalam hal ini prestasi besar bagi para leluhur Batak dengan mewariskan marga bagi keturunannya.Jika prestasi budaya para leluhur kita berhasil dan kita nikmati hingga saat ini, maka
seharusnya para generasi Batak mengaktualisasikannya. Tidak membuang nilai tarombo marga tersebut. Sementara dilain hal, banyak yang menghabiskan energi untuk mengurusi hal-hal yang tidak berguna karena silsilah, berdebat masalah keturunan dan marga, bahkan menghina sesama bermarga, bahkan parahnya ada yang masih dalam satu marga karena meributkan sulung siapa atau bungsu siapa. Tentu ini tidaklah elok bagi kita orang Batak yang mungkin memiliki “Silsilah Terbesar dalam peradaban Dunia”. Mengapa penulis mengatakan demikian? Karena menurut hemat saya salah satu budaya terbesar yang memiliki silsilah besar dan kompleks namun harmonis adalah budaya orang Batak. Mungkin hal ini perlu kita orang Batak perlu ajukan kepada Guinness Award sebagai Silsilah yang terbesar dalam peradaban.
Sebagai orang Batak memang selayaknya memelihara budayanya, termasuk silsilah marganya. Namun
jika pertentangan itu melarut dalam ‘pertikaian’ yang berkepanjangan, maka fungsi tarombo itu melenceng dari yang seharusnya.Leluhur orang Batak mewariskan silsilah sebagai pengikat kasih antar keturunannya, memaknainya sebagai budaya yang unik dan bernilai lintas waktu dan ruang.
Jika para leluhur kita memberi garis marga untuk menjaga keturuannya murni (dang manegai partuturan) dan tidak menjadi budak. Maka seharusnya kita diabad 21 ini memikirkan signifikansi silsilah tersebut dalam hal yang lebih berguna, bukan permusuhan yang tidak berguna.
source : fhsigiro.wordpress.com
Marga memiliki makna yang dalam dan luas. Mempertahankan nilai budaya, memelihara kasih antar sesama keturunan, menjaga pengrusakan tutur karena tutur merupakan sebuah esensi dalam budaya Batak, mengeratkan kasih antar sesama terlebih satu kakek buyut, sebuah cara pandang terhadap suatu marga karena suatu marga merupakan sebuah representasi historis dan kebesaran, dan makna-makna penting dalam kehidupan lainnya. Secara garis besar, martarombo atau melihat silsilah merupakan sebuah upaya untuk kehidupan yang lebih bermakna. Itulah sebabnya, bagi orang Batak ada istilah ‘halak hita’ dan ‘halak sileban’. Halak hita mengacu pada kemurnian keturunan orang Batak, sementara halak sileban secara acuan untuk orang non Batak. Jika halak hita tersebut tidak memelihara tarombo dan silsilahnya maka label yang disandangkan menjadi ‘dalle’, yaitu orang Batak yang tidak mengindahkan budayanya. Label dalle sangat dibenci orang Batak, namun faktanya banyak orang secara tidak sadar men-dalle-kan diri dengan tidak mengajarkan budaya Batak didalam keluarganya, hal ini disebabkan alasan jauh dari kampung halaman (luar
Tapanuli dan Medan).
Dahulu, orang Batak dilarang menikah dengan halak sileban, hal ini untuk menjaga kemurnian keturunan. Mungkin dengan kawin campur akan membuat keturunan abai mengenai adat dan silsilahnya. Jika seorang laki menikah dengan non Batak, otomatis mengikuti garis ayah dan marga tetap eksis, sehingga garis keturunan terpelihara. Namun jika seorang perempuan menikah dengan non Batak maka otomatis perempuan tersebut tidak menggariskan marga dan secara silsilah akan hilang. Garis silsilah memang mengikuti marga laki-laki, namun jika seorang perempuan tidak melahirkan seorang yang bermarga maka hal tersebut merupakan sebuah ketidakberuntungan hidup bagi orang Batak. Selain itu, jika orang Batak memiliki ibu boru Batak, maka mereka memiliki Tulang, dimana posisi Tulang sangat sentral dalam adat dan budaya Batak. Sehingga jika seseorang yang ‘Tulangnya’ bukan orang Batak maka akan sangat riskan dan sulit dalam adat.Pernikahan laki Batak dengan perempuan asing akan mempersulit tutur Tulang yang tidak ‘afdol’, misalnya orang Batak riskan memanggil Tulang yang tidak bermarga.Namun hal ini masih dapat
diterima karena masih memiliki marga anak laki tersebut. Sementara pernikahan perempuan Batak dengan laki asing akan jauh lebih sulit dan kurang diterima, karena keturunan tersebut otomatis akan hilang dari silsilah marga (keturunan tersebut tidak bermarga). Maka sering kali orang Batak menyematkan marga terhadap orang yang non Batak, baik mantu Laki atau mantu Perempuan. Pertama untuk menghindari malu, karena kawin campur tersebut memiliki banyak efek kurang dalam adat. Kedua untuk menjaga garis keturunan tetap terpelihara (tidak putus dan hilang). Hal ini mengacu pada kebesaran marga mereka (keagungan).Sangat dapat diterima jika orang tua Batak menganjurkan anak-anak mereka menikah dengan orang Batak juga. Hal ini disebabkan upaya pelestarian budaya marga dan silsilah tersebut. Kemudian, Rasa terima beradat sangat kental dalam kehidupan orang Batak, akan sangat riskan bagi orang Batak menuturkan sebuah panggilan Batak (Oppung, Amang, Inang, Lae, Pariban, Haha, Anggi, Besan, Tante, dll) kepada orang non Batak. Kebanyakan akan berkata ‘hallung do manjouhon i’ tu halak sileban, artinya sangat riskan panggilan tersebut kepada orang asing tersebut. Kenapa? karena bagi orang Batak sebuah panggilan itu dimaknai dan dihidupi.
Kembali ke tarombo dan silsilah, para leluhur kita Batak mewariskan tarombo dan silsilah untuk keturunannya hidup rukun dalam kasih. Sejauh manapun orang merantau maka dengan sematan marga
ikatan kasih persaudaraan akan tetap melekat. Hal ini terealisasi dengan kerapnya orang Batak
membentuk perkumpulan semarga, dalam bahasa majunya arisan.Namun ternyata tarombo dan silsilah ini digunakan para leluhur tidak hanya sebagai ikatan kasih persaudaraan, Fungsi utama lainnya adalah untuk tidak mengacaukan tutur (manegai partuturon) dan menjaga keturunannya tidak terjual sebagai budak bagi orang lain.Tutur dalam orang Batak sangat esensi, sebuah panggilan memiliki makna sosial baik itu posisi,
sikap hidup, tanggung jawab dan kewajiban beserta hak sosialnya. Tutur tersebut merepresentasikan makna-makna diatas.
Pada jaman dulu sering terjadi jual-beli budak antar raja raja daerah. Dengan marga maka orang akan mengetahui seseorang tersebut dalam sosialnya. Mungkin keturunan raja, penguasa, orang terhormat, pengaruh besar, famili, dan sebagainya. Maka para leluhur mewarikan marga ini menjaga keturunannya dari berbagai ancaman luar tersebut. Jika keturunan penguasa pergi merantau jauh, dengan sematan marga maka tiap-tiap daerah akan mengenalnya dan perlakuan yang tidak semena-mena. Selain mungkin karena dia itu seorang keturunan tertentu namun juga sebagai famili atau klan marga tertentu yang mana partuturan dapat dijalankan. Maka dalam hal ini prestasi besar bagi para leluhur Batak dengan mewariskan marga bagi keturunannya.Jika prestasi budaya para leluhur kita berhasil dan kita nikmati hingga saat ini, maka
seharusnya para generasi Batak mengaktualisasikannya. Tidak membuang nilai tarombo marga tersebut. Sementara dilain hal, banyak yang menghabiskan energi untuk mengurusi hal-hal yang tidak berguna karena silsilah, berdebat masalah keturunan dan marga, bahkan menghina sesama bermarga, bahkan parahnya ada yang masih dalam satu marga karena meributkan sulung siapa atau bungsu siapa. Tentu ini tidaklah elok bagi kita orang Batak yang mungkin memiliki “Silsilah Terbesar dalam peradaban Dunia”. Mengapa penulis mengatakan demikian? Karena menurut hemat saya salah satu budaya terbesar yang memiliki silsilah besar dan kompleks namun harmonis adalah budaya orang Batak. Mungkin hal ini perlu kita orang Batak perlu ajukan kepada Guinness Award sebagai Silsilah yang terbesar dalam peradaban.
Sebagai orang Batak memang selayaknya memelihara budayanya, termasuk silsilah marganya. Namun
jika pertentangan itu melarut dalam ‘pertikaian’ yang berkepanjangan, maka fungsi tarombo itu melenceng dari yang seharusnya.Leluhur orang Batak mewariskan silsilah sebagai pengikat kasih antar keturunannya, memaknainya sebagai budaya yang unik dan bernilai lintas waktu dan ruang.
Jika para leluhur kita memberi garis marga untuk menjaga keturuannya murni (dang manegai partuturan) dan tidak menjadi budak. Maka seharusnya kita diabad 21 ini memikirkan signifikansi silsilah tersebut dalam hal yang lebih berguna, bukan permusuhan yang tidak berguna.
source : fhsigiro.wordpress.com
Sabtu, 04 Juli 2015
RAGAM SENI DAN BUDAYA BATAK TOBA
Etnik Batak Toba merupakan salah satu dari banyak etnik yang bermukim di Provinsi Sumatera Utara. Etnik yang mendiami wilayah yang relatif luas, mulai dari daerah di sekitar tepian Danau Toba dan Pulau Samosir, hingga ke dataran tinggi Silindung dan Pahae ini, memiliki budaya yang unik dengan ragam kesenian yang menarik. Sehingga, budaya Batak Toba cukup banyak mendapatkan perhatian, baik oleh para akademisi maupun wisatawan.Beragam kesenian tersebut, mulai dari seni tari, seni musik, seni kerajinan, seni sastra, hingga seni rupa, hidup menyatu dalam adat istiadat dan sisi religi masyarakat Batak Toba. Semua kesenian
tradisional tersebut menjadi bagian kehidupan mereka, bahkan hingga saat ini. Meskipun dunia sudah berkembang semakin modern, ragam kesenian tradisional itu tetap bisa bertahan, bahkan malah menjadi
bagian penting dalam dunia pariwisata.Para turis yang berlibur ke Danau Toba dan daerah-daerah sekitarnya, memang tidak hanya untuk menyaksikan keindahan alam yang dimiliki wilayah tersebut. Tetapi, mereka juga tertarik untuk menikmati kebudayaan dan kesenian tradisional dalam masyarakat Batak Toba.
Untuk mengetahuinya lebih lanjut, berikut ini pembahasan mengenai lima ragam seni yang hidup dan terus bertahan dalam tatanan budaya Batak Toba tersebut.
Seni Tari
Tari Tortor menjadi salah satu kesenian yang paling menonjol dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba. Manortor (menari, bahasa Batak Toba) merupakan lambang bentuk syukur kepada Mulajadi Nabolon,
dewa pencipta alam semesta, dan rasa hormat kepada hula-hula dalam konsep kekeluargaan mereka. Oleh karena itu, tari ini biasanya dilakukan dalam upacara ritual, ataupun dalam upacara adat, seperti acara pernikahan.
Seni Musik
Sejumlah alat musik juga menjadi bagian dalam pelaksanaan upacara ritual dan upacara adat dalam kebudayaan orang-orang Batak Toba. Dua jenis ansambel musik, gondang sabangunan dan gondang hasapi merupakan alat musik tradisional yang paling sering dimainkan. Menurut mitologi etnik Batak Toba, kedua alat musik tersebut merupakan milik Mulajadi Nabolon, sehingga harus dimainkan untuk menyampaikan permohonan kepada sang dewa.
Seni Kerajinan
Martonun, atau keterampilan dalam membuat kais ulos dengan alat tenun tradisional, merupakan salah satu seni kerajinan dalam tradisi adat Batak Toba, yang hingga saat ini masih bisa dijumpai di pedalaman Pulau Samosir dan daerah-daerah lainnya di sekitar Danau Toba. Masyarakat Batak Toba melakukan berbagai seni kerajinan sesuai dengan peran dan fungsinya dalam struktur adat dan religi yang mereka
percaya.
Seni Sastra
Ada banyak seni sastra yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, meliputi sastra lisan dan sastra tulisan. Beragam cerita rakyat, seperti terjadinya Danau Toba dan Batu Gantung, menjadi
legenda yang sampai saat ini masih bisa kita dengar. Pantun-pantun yang disebut umpasa juga ada dalam kebudayaan Batak Toba, yang menjadi kearifan lokal etnik tersebut. Semua seni sastra itu memiliki
makna filosofis dalam kehidupan mereka.
Seni Rupa
Seni pahat dan seni patung menjadi keterampilan utama dalam seni rupa tradisional yang hidup di Batak Toba. Ukiran-ukiran yang terdapat gorga atau ornamen rumah adat mereka, menjadi bukti keindahan dari seni pahat masyarakat Batak Toba. Sedangkan, seni patung bisa dilihat dari banyak peralatan tradisional, seperti sior dan hujur (panah), losung gaja (lesung besar), serta parpagaran dan sigale-gale (alat untuk memanggil kekuatan gaib).Semua jenis kesenian tradisional dalam budaya Batak Toba itulah yang
hingga sekarang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Mereka terus menjaganya agar tetap hidup dalam tatanan adat istiadat dan kehidupan religi masyarakat tersebut. Itu pula yang
kemudian menjadi daya tarik dalam dunia pariwisata, yakni sebagai hiburan bagi para turis asing, yang selama ini mungkin belum pernah melihatnya.
Sumber : pusakapusaka.com
tradisional tersebut menjadi bagian kehidupan mereka, bahkan hingga saat ini. Meskipun dunia sudah berkembang semakin modern, ragam kesenian tradisional itu tetap bisa bertahan, bahkan malah menjadi
bagian penting dalam dunia pariwisata.Para turis yang berlibur ke Danau Toba dan daerah-daerah sekitarnya, memang tidak hanya untuk menyaksikan keindahan alam yang dimiliki wilayah tersebut. Tetapi, mereka juga tertarik untuk menikmati kebudayaan dan kesenian tradisional dalam masyarakat Batak Toba.
Untuk mengetahuinya lebih lanjut, berikut ini pembahasan mengenai lima ragam seni yang hidup dan terus bertahan dalam tatanan budaya Batak Toba tersebut.
Seni Tari
Tari Tortor menjadi salah satu kesenian yang paling menonjol dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba. Manortor (menari, bahasa Batak Toba) merupakan lambang bentuk syukur kepada Mulajadi Nabolon,
dewa pencipta alam semesta, dan rasa hormat kepada hula-hula dalam konsep kekeluargaan mereka. Oleh karena itu, tari ini biasanya dilakukan dalam upacara ritual, ataupun dalam upacara adat, seperti acara pernikahan.
Sejumlah alat musik juga menjadi bagian dalam pelaksanaan upacara ritual dan upacara adat dalam kebudayaan orang-orang Batak Toba. Dua jenis ansambel musik, gondang sabangunan dan gondang hasapi merupakan alat musik tradisional yang paling sering dimainkan. Menurut mitologi etnik Batak Toba, kedua alat musik tersebut merupakan milik Mulajadi Nabolon, sehingga harus dimainkan untuk menyampaikan permohonan kepada sang dewa.
Seni Kerajinan
Martonun, atau keterampilan dalam membuat kais ulos dengan alat tenun tradisional, merupakan salah satu seni kerajinan dalam tradisi adat Batak Toba, yang hingga saat ini masih bisa dijumpai di pedalaman Pulau Samosir dan daerah-daerah lainnya di sekitar Danau Toba. Masyarakat Batak Toba melakukan berbagai seni kerajinan sesuai dengan peran dan fungsinya dalam struktur adat dan religi yang mereka
percaya.
Seni Sastra
Ada banyak seni sastra yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, meliputi sastra lisan dan sastra tulisan. Beragam cerita rakyat, seperti terjadinya Danau Toba dan Batu Gantung, menjadi
legenda yang sampai saat ini masih bisa kita dengar. Pantun-pantun yang disebut umpasa juga ada dalam kebudayaan Batak Toba, yang menjadi kearifan lokal etnik tersebut. Semua seni sastra itu memiliki
makna filosofis dalam kehidupan mereka.
Seni Rupa
Seni pahat dan seni patung menjadi keterampilan utama dalam seni rupa tradisional yang hidup di Batak Toba. Ukiran-ukiran yang terdapat gorga atau ornamen rumah adat mereka, menjadi bukti keindahan dari seni pahat masyarakat Batak Toba. Sedangkan, seni patung bisa dilihat dari banyak peralatan tradisional, seperti sior dan hujur (panah), losung gaja (lesung besar), serta parpagaran dan sigale-gale (alat untuk memanggil kekuatan gaib).Semua jenis kesenian tradisional dalam budaya Batak Toba itulah yang
hingga sekarang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Mereka terus menjaganya agar tetap hidup dalam tatanan adat istiadat dan kehidupan religi masyarakat tersebut. Itu pula yang
kemudian menjadi daya tarik dalam dunia pariwisata, yakni sebagai hiburan bagi para turis asing, yang selama ini mungkin belum pernah melihatnya.
Sumber : pusakapusaka.com
Rabu, 01 Juli 2015
PENCIPTA LAGU NASIONAL DARI SUKU BATAK
Orang Batak suka menyanyi?, hal ini tidah terbantahkan lagi, boleh kita lihat di setiap tempat bahwa jika sesama orang Batak itu berkumpul akan gemar bermain gitar sambil bernyanyi bersama. Ternyata bukan hanya gemar menyanyi, namun juga menciptakan lagu dari lagu daerah sendiri sampai lagu-lagu nasional.
Berikut beberapa tokoh pencipta lagu Nasional yang berasal dari suku Batak yang mana ciptaannya dapat kita dengarkan sampai sekarang dan yang paling membanggakan, lagu- lagu ciptaan mereka juga bertemakan semangat dan cinta tanah air dan bangsa, bukan hanya cinta daerah atau suku sendiri..he...he..he...
1. Liberty Manik (1924-1993)
Liberty Manik yang kita selalu kenal dengan L. Manik lahir tahun 1924 di Sidikalang, Sumatra Utara.
Beliau adalah Doktor Musik dari Jerman, Beliau orang yang bisa melakukan apa saja, seperti; Pemain biola, penyanyi, penyiar radio RRI Yogyakarta, penulis buku, jurnalis majalah, dan yang terakhir sebagai pencipta lagu Satu Nusa Satu Bangsa. Lagu ini diciptakan oleh Manik setelah dirinya melihat sendiri semangat perjuangan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Satu Nusa Satu Bangsa pertama kali diputar melalui siaran radio di tahun 1947, ketika terjadinya agresi Belanda pertama. Beliau akhirnya mendapat anugerah bintang Budaya Paramadharma di tahun 2007. Dan Beliau meninggal dunia di tahun 1993, dalam usianya 69 tahun.
2. Cornel Simanjuntak (1921-1946)
Tahukah Anda lagu yang diberi judul Maju Tak Gentar? Lagu ini ternyata dibuat oleh Cornel Simanjutak. Sebelumnya, lagu ini aslinya berjudul Maju Putra-Putri Indonesia.Cornel Simanjuntak lahir di Pematangsiantar, Sumatra Utara tahun 1921 berasal dari keluarga pensiunan Polri pernah menjadi guru di Magelang dan Jakarta dan kemudian pindah ke kantor Kebudayaan Jepang.Ketika terjadi revolusi di tahun 1945, lagu ini diubah judulnya dan juga syairnya agar lebih terasa membakar semangat yang mendengarnya. Ternyata lagu Maju Tak Gentar ini berhasil menyulut psikologi pejuang Front Tentara Pelajar Yogyakarta. Lirik yang ada di dalamnya sangat pas dengan kondisi pada saat itu, dimana ada sebuah perlawanan yang
dilakukan dengan peralatan seadanya.Beliau meninggal tahun 1946 umur 25 tahun akibat penyakit kronis TBC. Waktu ikut pertempuran melawan Belanda di Tanah Tinggi, Jakarta.
3. Amir Pasaribu (Amir Hamzah Pasaribu) (1915-2010)
Lagu Andika Bhayangkari diciptakan oleh A.H. Pasaribu yang lahir tanggal 21 Mei 1915 di Siborong-borong Tapanuli utara.Setelah kemerdekaan tahun 1954-1957 beliau menjabat sebagai direktur Sekolah Musik Indonesia (SMINDO) Yogyakarta dan tahun 1957-1968 beliau diangkat sebagai Kepala B1-kursus
jurusan Seni Suara, Lembaga Pendidikan Guru, Departemen Pendidikan danKebudayaan yang kemudian ditingkatkan menjadi IKIP-UI (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Indonesia – kini Universitas Negeri Jakarta, Rawangun, Jakarta.
Amir Pasaribu dianugerahi Bintang Budaya Parama Dharma tahun 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Dan beliau meninggal dunia pada usia 94 tahun di Medan, Sumatra utara pada
tanggal 10 februari 2010.
4. Alfred Simanjuntak
Lagu nasional Bangun Pemuda Pemudi (beliau ketika berumur 23 tahun menciptakannya) dan Indonesia Bersatulah diciptakan oleh DR. Alfred Simanjuntak lahir tanggal 8 September 1920 di Tapanuli utara, berpendidikan di Rijksuniversiteit Utrecht, Leidse Universiteit, Leiden, Stedelijke Universiteit, Amsterdam, Belanda pada tahun 1954-1962 sekolah dinegara kincir angina ini selama 6 tahun.
Beliau adalah pendiri Yayasan Musik Gereja (1967) dan Memiliki pengalaman sebagai guru dan menjabat juga dalam bidang komunikasi/penerbitan.
Beliau juga berteman dengan Liberty Manik (yang menciptakan lagu Satu Nusa Satu Bangsa) dan
Cornelis Simanjuntak (yang menciptakan lagu Pada Pahlawan) sehinggal ciri khas lagu yang mereka ciptakan sama.Beliau kini telah menjadi ompung (kakek) dari 11 cucu yang lahir dari empat anaknya, yaitu
Aida, Toga, Dorothea, dan John. Sekarang tinggal di Jakarta dan kegiatan sehari-harinya
masih terus didalam bidang musik.
5. Notier Simanungkalit (1929-2012)
Lagu nasional Puing dan SKJ (Senam Kesegaran Jasmani) Senam Pagi Indonesia tahun 1984, diciptakan oleh Notier Simanungkalit lahir pada tanggal 17 Desember 1929 di kota Tarutung, Sumatra utara, menyelesaikan sekolahnya di Universitas Gajah Mada Fakultas Paedagogi. Beliau belajar musik secara otodidak.Beliau adalah salah satu dari 11 orang musisi dunia diangkat IMC menjadi anggota Dewan
Pemilih (Selection Committee) Festival Paduan Suara Mahasiswa International di New York pada tahun 1972 dan diundang santap siang oleh Presiden USA Mr. Richard Nixon dan Ibu di White House Washington DC.
6. Sanusi Pane (1905-1968)
Lagu nasional Tanah Tumpah Darahku diciptakan oleh Sanusi Pane lahir tanggal 14 November 1905 di Muara Sipongi, Mandailing Natal, Sumatra Utara. Beliau adalah seorang Sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru yang karya-karyanya banyak diterbitkan antara tahun 1920 sampai dengan 1940-an.
Beliau meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968 pada umur 62 tahun.
7. Binsar Sitompul
Lagu nasional Bhineka Tunggal Ika lyriknya diciptakan oleh Binsar Sitompul (1923-1991) dan syairnya bersama A. Thalib, binsar Sitompul belajar biola dan teori musik pada zaman Jepang.
Kenangan DR. Alfred Simanjuntak bercerita tentang pertemanannya dengan tiga komponis besar:
Cornelis Simanjuntak, Liberty Manik, dan Binsar Sitompul.Pertemanan keempatnya terajut ketika Alfred mendatangi sekolah Katolik di Muntilan, untuk mengikuti ujian. “Cornelis bersekolah di sana,” kata Alfred.
Sejak awal bertemu dengan Cornelis, Alfred langsung mengaguminya. Sebab, sang teman memiliki suara sangat bagus. “Suara Cornel hebat. Tenor tinggi, padahal tanpa mikrofon, betul-betul seperti tenor Italia,” kata Alfred dalam majalah Tempo edisi 17 November 2002, berjudul Selama Hayat Dikandung Badan.
Meski keempatnya masih duduk di sekolah menengah pertama, mereka sudah diajarkan lagu orkestra, Messiah karya Handel. Di bawah arahan R. Sudjasmin, di kemudian hari menjadi konduktor Istana, mereka memainkan lagu Mozart, Verdi, dan Beethoven.
8. E.L. Pohan
Lagu nasional Tanah Air Indonesia dan Mars Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI)
diciptakan oleh E.L. Pohan.
Sumber : gobatak.com
Berikut beberapa tokoh pencipta lagu Nasional yang berasal dari suku Batak yang mana ciptaannya dapat kita dengarkan sampai sekarang dan yang paling membanggakan, lagu- lagu ciptaan mereka juga bertemakan semangat dan cinta tanah air dan bangsa, bukan hanya cinta daerah atau suku sendiri..he...he..he...
1. Liberty Manik (1924-1993)
Liberty Manik yang kita selalu kenal dengan L. Manik lahir tahun 1924 di Sidikalang, Sumatra Utara.
Beliau adalah Doktor Musik dari Jerman, Beliau orang yang bisa melakukan apa saja, seperti; Pemain biola, penyanyi, penyiar radio RRI Yogyakarta, penulis buku, jurnalis majalah, dan yang terakhir sebagai pencipta lagu Satu Nusa Satu Bangsa. Lagu ini diciptakan oleh Manik setelah dirinya melihat sendiri semangat perjuangan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Satu Nusa Satu Bangsa pertama kali diputar melalui siaran radio di tahun 1947, ketika terjadinya agresi Belanda pertama. Beliau akhirnya mendapat anugerah bintang Budaya Paramadharma di tahun 2007. Dan Beliau meninggal dunia di tahun 1993, dalam usianya 69 tahun.
2. Cornel Simanjuntak (1921-1946)
Tahukah Anda lagu yang diberi judul Maju Tak Gentar? Lagu ini ternyata dibuat oleh Cornel Simanjutak. Sebelumnya, lagu ini aslinya berjudul Maju Putra-Putri Indonesia.Cornel Simanjuntak lahir di Pematangsiantar, Sumatra Utara tahun 1921 berasal dari keluarga pensiunan Polri pernah menjadi guru di Magelang dan Jakarta dan kemudian pindah ke kantor Kebudayaan Jepang.Ketika terjadi revolusi di tahun 1945, lagu ini diubah judulnya dan juga syairnya agar lebih terasa membakar semangat yang mendengarnya. Ternyata lagu Maju Tak Gentar ini berhasil menyulut psikologi pejuang Front Tentara Pelajar Yogyakarta. Lirik yang ada di dalamnya sangat pas dengan kondisi pada saat itu, dimana ada sebuah perlawanan yang
dilakukan dengan peralatan seadanya.Beliau meninggal tahun 1946 umur 25 tahun akibat penyakit kronis TBC. Waktu ikut pertempuran melawan Belanda di Tanah Tinggi, Jakarta.
3. Amir Pasaribu (Amir Hamzah Pasaribu) (1915-2010)
Lagu Andika Bhayangkari diciptakan oleh A.H. Pasaribu yang lahir tanggal 21 Mei 1915 di Siborong-borong Tapanuli utara.Setelah kemerdekaan tahun 1954-1957 beliau menjabat sebagai direktur Sekolah Musik Indonesia (SMINDO) Yogyakarta dan tahun 1957-1968 beliau diangkat sebagai Kepala B1-kursus
jurusan Seni Suara, Lembaga Pendidikan Guru, Departemen Pendidikan danKebudayaan yang kemudian ditingkatkan menjadi IKIP-UI (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Indonesia – kini Universitas Negeri Jakarta, Rawangun, Jakarta.
Amir Pasaribu dianugerahi Bintang Budaya Parama Dharma tahun 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Dan beliau meninggal dunia pada usia 94 tahun di Medan, Sumatra utara pada
tanggal 10 februari 2010.
4. Alfred Simanjuntak
Lagu nasional Bangun Pemuda Pemudi (beliau ketika berumur 23 tahun menciptakannya) dan Indonesia Bersatulah diciptakan oleh DR. Alfred Simanjuntak lahir tanggal 8 September 1920 di Tapanuli utara, berpendidikan di Rijksuniversiteit Utrecht, Leidse Universiteit, Leiden, Stedelijke Universiteit, Amsterdam, Belanda pada tahun 1954-1962 sekolah dinegara kincir angina ini selama 6 tahun.
Beliau adalah pendiri Yayasan Musik Gereja (1967) dan Memiliki pengalaman sebagai guru dan menjabat juga dalam bidang komunikasi/penerbitan.
Beliau juga berteman dengan Liberty Manik (yang menciptakan lagu Satu Nusa Satu Bangsa) dan
Cornelis Simanjuntak (yang menciptakan lagu Pada Pahlawan) sehinggal ciri khas lagu yang mereka ciptakan sama.Beliau kini telah menjadi ompung (kakek) dari 11 cucu yang lahir dari empat anaknya, yaitu
Aida, Toga, Dorothea, dan John. Sekarang tinggal di Jakarta dan kegiatan sehari-harinya
masih terus didalam bidang musik.
5. Notier Simanungkalit (1929-2012)
Lagu nasional Puing dan SKJ (Senam Kesegaran Jasmani) Senam Pagi Indonesia tahun 1984, diciptakan oleh Notier Simanungkalit lahir pada tanggal 17 Desember 1929 di kota Tarutung, Sumatra utara, menyelesaikan sekolahnya di Universitas Gajah Mada Fakultas Paedagogi. Beliau belajar musik secara otodidak.Beliau adalah salah satu dari 11 orang musisi dunia diangkat IMC menjadi anggota Dewan
Pemilih (Selection Committee) Festival Paduan Suara Mahasiswa International di New York pada tahun 1972 dan diundang santap siang oleh Presiden USA Mr. Richard Nixon dan Ibu di White House Washington DC.
6. Sanusi Pane (1905-1968)
Lagu nasional Tanah Tumpah Darahku diciptakan oleh Sanusi Pane lahir tanggal 14 November 1905 di Muara Sipongi, Mandailing Natal, Sumatra Utara. Beliau adalah seorang Sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru yang karya-karyanya banyak diterbitkan antara tahun 1920 sampai dengan 1940-an.
Beliau meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968 pada umur 62 tahun.
7. Binsar Sitompul
Lagu nasional Bhineka Tunggal Ika lyriknya diciptakan oleh Binsar Sitompul (1923-1991) dan syairnya bersama A. Thalib, binsar Sitompul belajar biola dan teori musik pada zaman Jepang.
Kenangan DR. Alfred Simanjuntak bercerita tentang pertemanannya dengan tiga komponis besar:
Cornelis Simanjuntak, Liberty Manik, dan Binsar Sitompul.Pertemanan keempatnya terajut ketika Alfred mendatangi sekolah Katolik di Muntilan, untuk mengikuti ujian. “Cornelis bersekolah di sana,” kata Alfred.
Sejak awal bertemu dengan Cornelis, Alfred langsung mengaguminya. Sebab, sang teman memiliki suara sangat bagus. “Suara Cornel hebat. Tenor tinggi, padahal tanpa mikrofon, betul-betul seperti tenor Italia,” kata Alfred dalam majalah Tempo edisi 17 November 2002, berjudul Selama Hayat Dikandung Badan.
Meski keempatnya masih duduk di sekolah menengah pertama, mereka sudah diajarkan lagu orkestra, Messiah karya Handel. Di bawah arahan R. Sudjasmin, di kemudian hari menjadi konduktor Istana, mereka memainkan lagu Mozart, Verdi, dan Beethoven.
8. E.L. Pohan
Lagu nasional Tanah Air Indonesia dan Mars Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI)
diciptakan oleh E.L. Pohan.
Sumber : gobatak.com