Sabtu, 30 Januari 2016

IRONIS, RIBUAN ARTEFAK BATAK DISIMPAN DI MUSEUM EROPA

Indonesia adalah negara yang terkenal dengan kemajemukan suku bangsa, adat, bahasa, budaya,agama, dan ras. Salah satu yang cukup beragam di Indonesia ialah sukunya. Di Indonesia terdapat begitu banyak suku bangsa, dan salah satu yang terkenal adalah suku Batak. Suku Batak merupakan salah satu suku dengan peradaban tertua di Indonesia yang dapat kita temui di Sumatera Utara. Oleh sebab itulah,peninggalan sejarah dari suku yang berkesinambungan dalam waktu yang sangat lama ini tak terkira nilainya.
     Peninggalan sejarah dapat berupa adat dan kebiasaan ataupun artefak. Adat dan kebiasaan biasanya diwariskan oleh leluhur suku itu dengan cara diajarkan secara turun-temurun kepada generasinya. Adat dan kebiasaan biasanya mengandung filosofi luhur mengenai kehidupan, adab, bahkan agama dan kepercayaan. Lain dengan Adat dan kebiasaan yang tak nyata, artefak merupakan bentuk nyata dari peninggalan sebuah suku. Artefak dapat berupa senjata perang, peralatan rumah tangga, peralatan sembahyang, maupun dokumen-dokumen tua milik suku tersebut. Biasanya artefak banyak diburu dengan harga tinggi oleh para kolektor baik yang domestik maupun kolektor mancanegara.
     Belakangan artefak memeng telah banyak diamankan dimuseum,namun tentu tak sepantasnya artefak milik suku asli indonesia menjadi primadona di negeri orang.
     Ribuan artefak Batak kini banyak tersebar di museum-museum di Eropa. Dari sekitar 1600 naskah Batak, hampir 90% menjadi koleksi musium di Jerman, Inggris dan Belanda. Pihak Indonesia telah mengusahakan agar pihak- pihak museum tersebut mau mengembalikan artefak itu dengan bantuan UNESCO,dan kini pengembalian itu telah dilakukan tanpa merusak kerja sama Indonesia dengan negara-negara tersebut.
     Seharusnya memang artefak- artefak tersebut ditempatkan di museum-museum di dalam negri,namun bukan salah pihak asing jika museum di Indonesia tak dapat memberikan tempat sebaik di Eropa. Dengan adanya hal ini diharapkan dapat menyadarkan generasi muda Indonesia utuk mulai mencintai adat dan budaya sendiri,serta mulai belajar dari negara-negara lain untuk dapat mewujudkan museum yang pantas bagi artefak-artefak warisan leluhur itu dan mewujudkan museum yang dijadikan kebanggaan yang dicintai masyarakat. Agar kelak budaya kita  bangsa Indonesia,dapat menjadi primadona di negeri sendiri.
Sumber: Kompas, Edisi Rabu 11 Januari 2011
                                                                                        Sumber: Kompas, Edisi Rabu 11 Januari 2011

Selasa, 26 Januari 2016

MASIHKAH ANDA INGAT DENGAN TANAMAN YANG MIRIP DENGAN RIMBANG INI?

Inggir-Inggir adalah satu jenis tanaman yang dapat menyembuhkan beberapa penyakit, tanaman ini sering ditemukan didaerah sumatera. Bentuknya hampir mirip dengan Rimbang, daun, buah-buahan dan pohon hampir sama.Tanaman ini mudah dijumpai didaerah Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Masyarakat didaerah itu menyebut tanaman ini dengan nama Inggir-Inggir.Inggir-inggir  dengan nama ilmiahnya adalah Solanum sanitwongsei Craib yang diduga  mempunya i kandungan alkaloid yang mampu menimbulkan efek diuretik.

Ciri khas tanaman ini tidak berduri, daun dan buah warna hijau memiliki perbedaan warna yang berbeda. Jika buah masak akan berwarna merah. Tanaman ini lebih tumbuh seperti bunga, batangnya tidak terlalu besar dan tidak tinggi, biasanya para penduduk disana menananmnya di sekitar pekarangan rumah, karena rantingnya yang banyak dan cepat bercabang sehingga tamanan ini cocok sebagai pengganti pagar rumah.
Ada beberapa penyakit yang dapat diobati dengan mengkonsumsi buah ini inggir inggir ini. Masyarakat setempat percaya bahwa ingir ini dapat menyembuhkan penyakit tekanan darah tinggi, dan sakit perut. Selain menyembuhkan beberapa penyakit, buah inggir inggir  ini juga dapat meningkatkan nafsu makan.
Buah inggir Inggir dikonsumsi dengan makan buah buahnya, buahnya hampir sama dengan buah pada umumnya, bila masih muda warnanya hijau, bila sudah matang warnanya kuning kemerah-merahan, ukuran buhnya juga kecil-kecil, besarnya lebih kecil dari kelereng. Jika dimakan buah ini tidak terlalu bersahabat dilidah, karena rasanya sangat pahit.


Jumat, 22 Januari 2016

CERITA SAMPURAGA DAN SEBUAH PESAN MORAL UNTUK "PANGARANTO"

Pernahkah anda mendengar cerita tentang si Malin Kundang yang berasal dari Sumatera Barat? Ternyata dari daerah Sumatera Utara juga mempunyai cerita rakyat yang hampir mirip dengan si Malin Kundang, dimana cerita ini menceritakan tentang seorang manusia yang durhaka dengan ibunya. Cerita rakyat tersebut adalah Sampuraga yang konon berasal dari daerah Mandailing.

Pada zaman dahulu kala di daerah Padang Bolak, hiduplah di sebuah gubuk reot seorang janda tua dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Sampuraga. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka setiap hari bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik orang lain. Keduanya sangat rajin bekerja dan jujur, sehingga banyak orang kaya yang suka kepada mereka.Pada suatu siang, Sampuraga bersama majikannya beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang setelah bekerja sejak pagi. Sambil menikmati makan siang, mereka berbincang-bincang dalam suasana akrab. Seakan tidak ada jarak antara majikan dan buruh.

“Wahai, Sampuraga! Usiamu masih sangat muda. Kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya kamu pergi ke sebuah negeri yang sangat subur dan peduduknya hidup makmur,” kata sang Majikan.
“Negeri manakah yang Tuan maksud?” tanya Sampuraga penasaran.
“Negeri Mandailing namanya. Di sana, rata-rata penduduknya memiliki sawah dan ladang. Mereka juga sangat mudah mendapatkan uang dengan cara mendulang emas di sungai, karena tanah di sana memiliki kandungan emas,” jelas sang Majikan. Keterangan sang Majikan itu melambungkan impian Sampuraga.

“Sebenarnya, saya sudah lama bercita-cita ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu saya,” kata Sampuraga dengan sungguh-sungguh.
“Cita-citamu sangat mulia, Sampuraga! Kamu memang anak yang berbakti” puji sang Majikan.
Sepulang dari bekerja di ladang majikannya, Sampuraga kemudian mengutarakan keinginannya tersebut kepada ibunya.
“Bu, Raga ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Raga ingin mengubah nasib kita yang sudah lama menderita ini,” kata Sampuraga kepada ibunya.
“Ke manakah engkau akan pergi merantau, anakku?” tanya ibunya.
“Ke negeri Mandailing, bu. Pemilik ladang itu yang memberitahu Raga bahwa penduduk di sana hidup makmur dan sejahterta, karena tanahnya sangat subur,” jelas Sampuraga kepada ibunya.
“Pergilah, anakku! Meskipun ibu sangat khawatir kita tidak bisa bertemu lagi, karena usia ibu sudah semakin tua, tapi ibu tidak memiliki alasan untuk melarangmu pergi. Ibu minta maaf, karena selama ini ibu tidak pernah membahagiakanmu, anakku” kata ibu Sampuraga dengan rasa haru.
“Terima kasih, bu! Raga berjanji akan segera kembali jika Raga sudah berhasil. Doakan Raga, ya bu!“ Sampuraga meminta doa restu kepada ibunya.
“Ya, anakku! Siapkanlah bekal yang akan kamu bawa!” seru sang ibu.

Setelah mendapat doa restu dari ibunya, Sampuraga segera mempersiapkan segala sesuatunya.
Keesokan harinya, Sampuraga berpamitan kepada ibunya. “Bu, Raga berangkat! Jaga diri ibu baik-baik, jangan terlalu banyak bekerja keras!” saran Sampuraga kepada ibunya.
Berhati-hatilah di jalan! Jangan lupa cepat kembali jika sudah berhasil!” harap sang ibu.
Sebelum meninggalkan gubuk reotnya, Sampuraga mencium tangan sang Ibu yang sangat disayanginya itu. Suasana haru pun menyelimuti hati ibu dan anak yang akan berpisah itu. Tak terasa, air mata keluar dari kelopak mata sang Ibu.
Sampuraga pun tidak bisa membendung air matanya. Ia kemudian merangkul ibunya, sang Ibu pun membalasnya dengan pelukan yang erat, lalu berkata: “Sudahlah, Anakku! Jika Tuhan menghendaki, kita akan bertemu lagi,” kata sang Ibu.
Setelah itu berangkatlah Sampuraga meninggalkan ibunya seorang diri. Berhari-hari sudah Sampuraga berjalan kaki menyusuri hutan belantara dan melawati beberapa perkampungan. Suatu hari, sampailah ia di kota Kerajaan Pidoli, Mandailing. Ia sangat terpesona melihat negeri itu. Penduduknya ramah-tamah, masing-masing mempunyai rumah dengan bangunan yang indah beratapkan ijuk. Sebuah istana berdiri megah di tengah-tengah keramaian kota. Candi yang terbuat dari batu bata terdapat di setiap sudut kota. Semua itu menandakan bahwa penduduk di negeri itu hidup makmur dan sejahtera.

Di kota itu, Sampuraga mencoba melamar pekerjaan. Lamaran pertamanya pun langsung diterima. Ia bekerja pada seorang pedagang yang kaya-raya. Sang Majikan sangat percaya kepadanya, karena ia sangat rajin bekerja dan jujur. Sudah beberapa kali sang Majikan menguji kejujuran Sampuraga, ternyata ia memang pemuda yang sangat jujur. Oleh karena itu, sang Majikan ingin memberinya modal untuk membuka usaha sendiri. Dalam waktu singkat, usaha dagang Sampuraga berkembang dengan pesat. Keuntungan yang diperolehnya ia tabung untuk menambah modalnya, sehingga usahanya semakin lama semakin maju. Tak lama kemudian, ia pun terkenal sebagai pengusaha muda yang kaya-raya.
Sang Majikan sangat senang melihat keberhasilan Sampuraga. Ia berkeinginan menikahkan Sampuraga dengan putrinya yang terkenal paling cantik di wilayah kerajaan Pidoli.
“Raga, engkau adalah anak yang baik dan rajin. Maukah engkau aku jadikan menantuku?” tanya sang Majikan.“Dengan senang hati, Tuan! Hamba bersedia menikah dengan putri Tuan yang cantik jelita itu,” jawab Sampuraga.
Pernikahan mereka diselenggarakan secara besar-besaran sesuai adat Mandailing. Persiapan mulai dilakukan satu bulan sebelum acara tersebut diselenggarakan. Puluhan ekor kerbau dan kambing yang akan disembelih disediakan. Gordang Sambilan dan Gordang Boru yang terbaik juga telah dipersiapkan untuk menghibur para undangan.

Berita tentang pesta pernikahan yang meriah itu telah tersiar sampai ke pelosok-pelosok daerah. Seluruh warga telah mengetahui berita itu, termasuk ibu Sampuraga. Perempuan tua itu hampir tidak percaya jika anaknya akan menikah dengan seorang gadis bangsawan, putri seorang pedagang yang kaya-raya.
“Ah, tidak mungkin anakku akan menikah dengan putri bangsawan yang kaya, sedangkan ia adalah anak seorang janda yang miskin. Barangkali namanya saja yang sama,” demikian yang terlintas dalam pikiran janda tua itu.Walaupun masih ada keraguan dalam hatinya, ibu tua itu ingin memastikan berita yang telah diterimanya. Setelah mempersiapkan bekal secukupnya, berangkatlah ia ke negeri Mandailing dengan berjalan kaki untuk menyaksikan pernikahan anak satu-satunya itu. Setibanya di wilayah kerajaan Pidoli, tampaklah sebuah keramaian dan terdengar pula suara Gordang Sambilan bertalu-talu. Dengan langkah terseok-seok, nenek tua itu mendekati keramaian. Alangkah terkejutnya, ketika ia melihat seorang pemuda yang sangat dikenalnya sedang duduk bersanding dengan seorang putri yang cantik jelita. Pemuda itu adalah Sampuraga, anak kandungnya sendiri.

Oleh karena rindu yang sangat mendalam, ia tidak bisa menahan diri. Tiba-tiba ia berteriak memanggil nama anaknya.Sampuraga sangat terkejut mendengar suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Ah, tidak mungkin itu suara ibu,” pikir Sampuraga sambil mencari-cari sumber suara itu di tengah-tengah keramaian. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang nenek tua berlari mendekatinya.
“Sampuraga…Anakku! Ini aku ibumu, Nak!” seru nenek tua itu sambil mengulurkan kedua tangannya hendak memeluk Sampuraga.
Sampuraga yang sedang duduk bersanding dengan istrinya, bagai disambar petir. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi merah membara, seakan terbakar api. Ia sangat malu kepada para undangan yang hadir, karena nenek tua itu tiba-tiba mengakuinya sebagai anak.

“Hei, perempuan jelek! Enak saja kamu mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu jelek seperti kamu! Pergi dari sini! Jangan mengacaukan acaraku!”, hardik Sampuraga.
“Sampuragaaa…, Anakku! Aku ini ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu. Kenapa kamu melupakan ibu? Ibu sudah lama sekali merindukanmu. Rangkullah Ibu, Nak!” Iba perempuan tua itu.
“Tidak! Kau bukan ibuku! Ibuku sudah lama meninggal dunia. Algojo! Usir nenek tua ini!” Perintah Sampuraga.

Hati Sampuraga benar-benar sudah tertutup. Ia tega sekali mengingkari dan mengusir ibu kandungnya sendiri. Semua undangan yang menyaksikan kejadian itu menjadi terharu. Namun, tak seorang pun yang berani menengahinya.Perempuan tua yang malang itu kemudian diseret oleh dua orang sewaan Sampuraga untuk meninggalkan pesta itu. Dengan derai air mata, perempuan tua itu berdoa: “Ya, Tuhan! Jika benar pemuda itu adalah Sampuraga, berilah ia pelajaran! Ia telah mengingkari ibu kandungnya sendiri

Seketika itu juga, tiba-tiba langit diselimuti awan tebal dan hitam. Petir menyambar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian, hujan deras pun turun diikuti suara guntur yang menggelegar seakan memecah gendang telinga. Seluruh penduduk yang hadir dalam pesta berlarian menyelamatkan diri, sementara ibu Sampuraga menghilang entah ke mana. Dalam waktu singkat, tempat penyelenggaraan pesta itu tenggelam seketika. Tak seorang pun penduduk yang selamat, termasuk Sampuraga dan istrinya.
Beberapa hari kemudian, tempat itu telah berubah menjadi kolam air yang sangat panas. Di sekitarnya terdapat beberapa batu kapur berukuran besar yang bentuknya menyerupai kerbau. Selain itu, juga terdapat dua unggukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya menyerupai bahan makanan. Penduduk setempat menganggap bahwa semua itu adalah penjelmaan dari upacara pernikahan Sampuraga yang terkena kutukan. Oleh masyarakat setempat, tempat itu kemudian diberi nama “Kolam Sampuraga”. Hingga kini, tempat ini telah menjadi salah satu daerah pariwisata di daerah Mandailing yang ramai dikunjungi orang.

Cerita tentang sampuraga merupakan cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada tiga pesan moral yang dapat diambil sebagai pelajaran dari cerita di atas, yaitu: sifat rajin bekerja, sifat jujur dan sifat durhaka terhadap orang tua. Ketiga sifat tersebut tercermin pada sifat dan perilaku Sampuraga. Dan relevansinya dengan zaman sekarang bahwa cerita ini menyiratkan pesan moral bagi generasi muda sekarang ditengah-tengah semakin mengglobalnya dunia. Dimana orang-orang pergi untuk merantau dengan tujuan untuk memperbaiki taraf hidup tidak lagi hanya didalam negeri, bahkan sampai keluar negeri.

Pesan yang ingin disampaikan dalam cerita ini adalah bahwa sejauh manapun kita merantau atau meninggalkan kampung halaman,sesukses apapun yang kita raih di perantauan, harus tetap berbakti sama orang tua dan keluarga, tetap mengingat kampung halaman, melestarikan budaya dan adat istidat lelulhurnya adalah suatu keharusan dan tidak boleh dilupakan.

Semoga cerita rakyat si Sampuraga ini dapat mengingatkan selalu para generasi muda yang saat ini sedang merantau dimanapun berada.

Senin, 18 Januari 2016

10 ALASAN MENGAPA CEWEK BATAK PANTAS KAMU JADIKAN PENDAMPING HIDUP

Buat para cowok, kini kamu tidak perlu bingung mencari pasangan hidup yang sesuai dengan kriteria ini itu. Cukup dengan cewek yang sederhana, hidupmu juga akan bahagia. Apalagi jika kamu memilih cewek Batak, pilihanmu sudah yang terbaik karena alasan-alasan ini.

1. Gayanya sederhana tetapi tampak mewah
Inilah ciri khas cewek Batak. Kebanyakan dari mereka itu berpenampilan sederhana. Walaupun sederhana, mereka tampak mewah karena aura dalam dirnya yang memancar.

2. Eh mereka bukan cerewet, tetapi tegas.
Tidak hanya cowok Batak yang tegas, cewek Batak juga tegas lho. Hanya saja terkadang orang menganggap bahwa cewek Batak itu cerewet. Padahal seseungguhnya mereka hanya tegas pada dirinya sendiri dan pada kamu. Itu demi kebaikan hubungan lho, percayalah.

3. Tampang sangar, tetapi hatinya keibuan.
Nah ini nih ciri khas cewek Batak. Pada umumnya mereka memiliki hati keibuan. Walaupun tampang mereka terkadang sangar, tetapi hatinya keibuan lho. Mereka selalu tersentuh untuk membantu teman, bahkan pasangannya.

4. Untungnya, tidak terlalu manja lho.
Manja sih sah-sah saja ya kan para cowok? Tetapi ya jengkelin juga ya kalo terlalu manja. Nah jika kamu berhubungan dengan cewek Batak, itu merupakan pilihan terbaik. Karena mereka pada dasarnya tidak terlalu manja. Sifat tegas mereka sesekali muncul dan bermanfaat buatmu agar dalam suatu hubungan tidak hanya didominasi cowok dalam menentukan sesuatu.

5. Senyuman itu lo, dijamin menghanyutkan hatimu.
Cewek Batak itu sesekali senyum. Tetapi sekalinya senyum, dijamin akan menghanyutkan hatimu. Karena senyum yang mereka beri adalah senyum tulus. Ohh iya, cewek Batak jarang-jarang memberi senyumannya pada siapapun selain buat kamu yang dia anggap spesial lho.

6. Cewek Batak memiliki sifat mandiri.
Cewek Batak ini menjadi mandiri karena didikan dari orangtua mereka. Berdasarkan adat Batak, cewek juga perlu mandiri agar tidak dijatuhkan cowok. Beruntung deh mendapatkan mereka, kamu tidak perlu repot menjaganya terlalu protektif.

7. Walaupun cewek, mereka adalah pekerja keras.
Banyak orang yang mengatakan bahwa cewek tidak mungkin bisa menjadi pekerja keras. Eits, perkataan tersebut tidak berlaku untuk cewek Batak. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang pekerja keras. Apalagi dalam pendidikan, mereka juga bergiat agar berprestasi. Ya itulah tuntutan adat, bahwa perempuan Batak kini harus berpendidikan demi keluarga dan lingkungan.

8. Mereka bukan cuek loh, tetapi mereka tidak mau tebar pesona pada orang yang tidak spesial
Ini nih keuntungan kamu memiliki cewek Batak. Pada siapapun mereka memang terkesan cuek, tetapi kepadamu yang dianggap spesial, ia akan menjadi seseorang yang penuh kasih sayang. Kenyataan yang harus kamu ketahui, mereka itu tidak mau tebar pesona kepada orang banyak, karena pesona mereka hanya untuk kamu.

9. Selain itu, mereka tidak suka jaim.
Buat para cowok, sering tertipu ya karena banyak cewek yang baru kamu kenal manis tetapi selanjutnya ketahuan sifat aslinya? Nah ini pada umumnya jarang kamu dapatkan di pribadi cewek Batak. Mereka tidak terlalu jaim alias jaga image loh, buktikan saja deh. Di awal pertemuan, mereka lebih jujur untuk menunjukkan kepribadiannya kepadamu, sehingga kamu tidak perlu takut ke depannya akan berubah drastis.

10. Ketika cewek Batak berhasil kamu luluhkan, ia akan memberi perhatian super tulus padamu.
Kini, tidak hanya cowok yang harus bersikeras memberi perhatian pada cewek lho. Keuntungan kamu berhubungan dengan cewek Batak, mereka itu sangat memberikan perhatian kepadamu jika ia sudah yakin bahwa kamu adalah pasangannya.
Benarkan? pokoknya komplitlah... cewek batak itu tidak kalah dengan yang lainnya...



                                                                                                              
                                                                                                      Sumber :   http://www.tobatabo.com


10 ALASAN MENGAPA COWOK BATAK PANTAS KAMU JADIKAN PENDAMPING HIDUP

Banyak yang mengatakan, cowok Batak pada umumnya kasar dan seram. Sebenarnya mereka tidak sepenuhnya demikian, karena keseraman mereka itu hanya di tampangnya saja. Faktanya, cowok Batak itu berbakat melindungi ceweknya lho. Tidak nyesal deh berhubungan dengan cowok Batak karena 10 alasan ini.

1. Prinsip Boru Ni Raja
Prinsip ini dipertahankan sejak dari nenek moyang suku Batak. Arti dari prinsip ini adalah melindungi boru ni raja (putri raja atau gadis yang mendampinginya). Perempuan harus dianggap sebagai putri raja.
Artinya, cowok Batak selalu menghormati cewek yang mendampinginya, karena mereka adalah titipan raja. Tidak heran jika cowok Batak selalu memanjakan cewek yang mendampinginya.

2. Bertanggung Jawab
Semua cowok yang memiliki pacar selalu berusaha melindungi ceweknya sebagai bentuk tanggung jawab. Beda halnya dengan cowok Batak, mereka tidak hanya berusaha, melainkan wajib hukumnya untuk bertanggung jawab. Makanya, banyak cowok batak yang berpacaran berusaha untuk memantau kemanapun ceweknya pergi.

3. Tegas
Nah, ini nih kekhasan cowok Batak dalam menjalin hubungan, yaitu tegas. Memang pada dasarnya orang Batak tidak butuh basa-basi, segalanya harus to the point. Jadi, jika kamu menjalin hubungan dengan cowok Batak, segala sesuatu yang perlu diperbincangkan, mereka akan membahasnya dengan tegas. Kamu akan merasa cowok Batak sebagai pengganti orangtuamu.

4. Hati Hello Kitty
Meski tegas, cowok Batak punya hati Hello Kitty lho. Karena, cowok Batak selalu berusaha menahan diri untuk menunjukkan amarahnya pada cewek. Jadi, jika kamu sedang menangis, cowok Batak pada umumnya akan luluh dan memanjakanmu. Apalagi jika hubungan kamu dengan cowok Batak sedang marahan, mereka akan luluh untuk minta maaf. Benar-benar berhati Hello Kitty deh, karena sangat mudah untuk luluh.

5. Suka Mengorbankan Waktu Untukmu
Cewek merupakan makhluk yang selalu ingin dimengerti dan dituruti. Karena itu, tidak heran juga jika banyak cewek mudah ngambek jika cowoknya tidak punya waktu untuk jalan. Berbeda halnya dengan cowok Batak, mereka selalu berusaha mengorbankan waktu untuk nge-date dengan pasangannya. Bahkan, mereka tidak memberitahu pada ceweknya kalau sebenarnya mereka menunda kerjaan penting demi memenuhi waktu kencan denganmu.

6. Mau Berusaha Kenalan Dengan Keluarga Kamu
Cowok Batak menjunjung tinggi sosialisasi lho. Karena sudah kewajiban mereka sebagai pembawa adat dalam suku Batak. Jadi jika mereka berhubungan dengan cewek, mereka akan berusaha berkenalan dengan keluarga kamu, baik orangtua maupun saudara kamu. Ini menunjukkan bahwa cowok batak dalam berhubungan dengan cewek bukan sekadar pacaran untuk berduaan saja, melainkan bersilahturami dengan keluarga ceweknya.

7. Memilih Untuk Serius, Bukan Untuk Bercanda
Pada umumnya cowok Batak dalam memilih hubungan tidak main-main. Mereka akan memilih kamu, jika mereka sudah menganggap kamu yang terbaik jadi pasangannya. Nah, jika kamu sudah berpacaran dengan cowok Batak, itu tandanya mereka serius menjadikan kamu pendamping hidupnya.

8. Sekalipun Pergi Jauh, Ada yang Memperhatikanmu
Poin ini nih yang hanya dimiliki jika kamu berhubungan dengan cowok Batak. Karena mereka menganggapmu sebagai putri sang Raja, sekalipun pergi jauh dari kamu, mereka akan berpesan kepada teman disekelilingmu untuk memperhatikan kamu. Apapun kondisinya, cowok Batak merupakan sosok pelindung untuk cewek yang menjadi pendampingnya.Itulah alasan mengapa cowok Batak pantas dijadikan pasangan hidup. Paling utama dalam menjalin hubungan dengan mereka adalah hati dan sifatnya, jadi bukan sekadar tampang.

9. Aktif Mengajak Ceweknya ke Keluarganya
Selain berusaha memperkenalkan dirinya kepada keluarga kamu, cowok Batak dalam berhubungan tidak pernah melewatkan momen untuk memperkenalkanmu pada keluarganya dengan sangat istimewa. Cowok Batak akan menunjukkan pada keluarganya bahwa inilah cewek yang terbaik sebagai pilihannya. Karena itu, orangtua dalam suku Batak jika memiliki anak cowok, maka akan mempertanyakan bagaimana pasangannya. Sebab merekalah penerus marga dalam keluarga itu.

10. Kalau Bercanda Tidak Garing
Nah, poin ini merupakan hal penting dalam berhubungan, yakni tidak monoton agar hubungan semakin awet. Tentunya agar tidak monoton, kamu butuh bercanda dengan pasanganmu. Orang Batak biasanya kalau bercanda, membuatmu tiada henti tertawa. Apalagi jika kamu berhubungan dengan cowok Batak, mereka ini agar memberikanmu lelucon yang dijamin tidak akan garing.

Hayoo... masih ragu pilih cowok batak jadi pasangan hidup mu..? buat apa jauh-jauh lagi mencari dari suku lain, kalau cowok batak yang mempunyai banyak keistimewaan sudah ada ...hee..hee...hee...


 Sumber:http://www.tobatabo.com


Minggu, 17 Januari 2016

SIBORU SANGKAR SODALAHI - LEGENDA HEROIK SRIKANDI BATAK

Kisah tentang keturunan Si Marsaitan adalah kisah paling tragis sekaligus heroik dari Tanah Batak. Yaitu kisah tentang seorang anak yang tidak diinginkan oleh ibunya, yang lahir dari cinta palsu, karena sang ibu, perempuan yang hebat itu, berpura-pura cinta dan menjadi istri musuhnya karena ingin membalas dendam atas kematian suami yang sungguh dia cintai.

Di Negeri Urat, Pulau Samosir, berbahagialah Tuan Sipallat dengan istri junjungan jiwanya, Si Boru Sangkar Sodalahi, asal klan Manurung, penguasa Pegunungan Sibisa di kaki Gunung Simanuk-manuk. Tuan Sipallat dan istrinya bermukim di Suhut ni Huta. Karena hidup di dunia, bukan di surga, maka suatu ketika pecahlah perang dengan tetangga. Tuan Sipallat mengajak enam saudaranya untuk bangkit menghadapi musuh. Tapi, tak seorang pun yang tergerak hatinya. Tuan Sipallat maju menggempur lawan sendirian. Ia kalah, ditawan, kepalanya dipancung, dan oleh panglima dari suku pemenang, sebagai penghinaan tiada tara, kepalanya ditanam, dijadikan alas tangga batu menuju rumahnya.

Dan, martabat klan yang kalah perang itu benar-benar terinjak-injak lagi ketika Si Boru Sangkar Sodalahi membuat geger marga membikin malu negeri. Bayankanlah, dia main mata, bercumbu-rayu, dan kawin pula dengan kepala suku yang memenggal kepala suami pujaannya. Sehari-hari pekerjaannya menenun. Dalam belaian suaminya yang baru, Si Boru Sangkar Sodalahi menenun ulos lebih rajin lagi, dan hasilnya lebih indah pula. Disuruhnyalah suami barunya itu membuatkan bahan pewarna yang lebih bermutu, yang dibuat dari ramuan alam, sehingga suaminya itu sibuk sampai malam, tanda kasihnya pada istrinya yang cantik, istri lawan yang telah dia taklukkan dengan darah. Apabila malam sudah melingkup seluruh gunung, berbaringlah sang suami di pangkuan istrinya itu, hanyut dalam elusan tangan dan bujuk-rayu Si Boru Sangkar Sodalahi.

Suatu malam, malam penghabisan, dalam belaian dan kata-kata yang menenteramkan hati, yang dibisikkan Si Boru Sangkar Sodalahi kepada sang suami, yang dengan manjanya merebahkan kepala di pangkuan si istri, maka sang suami, karena lelahnya bekerja seharian, langsung tertidur lelap dan mendengkur. Tangan Si Boru Sangkar Sodalahi membelai jakun di leher suaminya. Namun, sekali ini, bukan asmaranya yang menggelora, tapi keinginannya menuntaskan obsesi untuk melampiaskan dendam atas kematian suami pertamanya, Tuan Sipallat. Terkesiap darahnya, dia menoleh ke kiri dan ke kanan seraya diam-diam menyisipkan tangan ke bawah tikar. Dari situ dihunusnya sebilah pedang. Cahaya samar pelita terpantul di mata senjata itu. Dia menatap leher suaminya, dengan dendam yang ingin dituntaskan tentu, dan secepat kilat ditebaskannya pedang itu. Dan kepala laki-laki itu terpelating, menggelinding, dan darah bersimbah di peraduan di mana cinta kepura-puraan baru saja berlalu.
Lantas dia berdiri, mengambil kain ulos ragihidup dari peti pusaka. Bergegas dia turun ke bawah. Sambil menangis tanpa suara, dia gali tengkorak suaminya dari dasar tangga batu itu. Dibungkusnya tengkorak itu dengan ulos pusaka. Dia naik lagi ke rumah, diambilnya tikar bernoda, dengan perasaan jijik dibalutnya kepala dari musuh suaminya, dan dia berangkat menuju Suhut ni Huta, pusat marga suaminya yang pertama.

Sampai di huta (desa) itu, Si Boru Sangkar Sodalahi mengetuk gerbang huta yang tegak bagaikan benteng. Kepada penjaga dia mengatakan dia datang untuk menyerahkan sesuatu. Kedua penjaga, yang mengenalnya, kontan meninggi suaranya, mengusirnya. ”Kami tak perlu apa-apa dari kamu. Tunggu kami pada waktunya ke tempatmu, mengambil apa yang kami perlukan, kepalamu dan kepala suamimu itu!”

Si Boru Sangkar Sodalahi tidak menyerah karena ucapan yang menyakitkan itu. Niatnya tak tergoyahkan. Lalu, kepada penjaga di mengatakan dia harus bertemu dengan kepala marga dan percayalah bahwa dia tidak akan pergi sebelum diizinkan masuk. Wali adat pun dibangunkan, perundingan digelar di antara mereka. Hasilnya: Si Boru Sangkar Sodalahi diperkenankan masuk menghadap.

”Malam ini saya membawa kembali leluhurmu, kembali pulang ke rumah ini, melunasi utang batin yang tertimpa di atas kepalamu semua!” ucap Si Boru Sangkar Sodalahi mantap seraya melepas gendongan dan dengan takzim menggelar tengkorak suaminya yang pertama. ”Inilah junjungan kita, yang saya tebus kehormatannya.” Dengan syahdu katanya pula: ”Kamu jadi saksi sekarang, apakah saya pengkhianat ataukah istri yang setia sampai mati.” Pemimpin rapat adat diam bagai paku. Yang hadir hanya bisa menangis memandangi tengkorak yang tergeletak dalam kebesaran ulos.

Selang beberapa lama, dilaksanakanlah upacara adat untuk membersihkan nama perempuan yang gagah berani menerjang langit itu. Kedudukannya di dalam marga dipulihkan, dan anak yang dikandungnya dianggap sebagai ”darah daging kami sendiri, oleh karena ia adalah buah bisikan roh leluhur.” Maka, lahirlah seorang anak laki-laki, dan diberi nama Si Marsaitan. Demikianlah sebuah legenda tentang srikandi Batak yang cukup heroik dalam memperjuangkan harga diri dan martabat keluarganya meskipun dengan cara yang terkadang diluar logika dan akal sehat manusia.

sumber :http://doloktolongsite.blogspot.co.id

LEGENDA BATU GURU DAN FILSAFAT BATAK TOBA "DALIHAN NA TOLU"

Legenda Batu Guru yang dijuluki sebagai simbol nyata filsafat suku Batak Toba Samosir "Dalihan  Na Tolu" tampak bagaikan mengapung di kawasan pantai Danau Toba desa Pangaloan Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir Sumatera Utara. Batu besar yang di topang tiga buah batu dibawahnya memiliki usia ribuan tahun. Batu besar yang memiliki sejarah panjang dikisahkan terbentuk dari kerbau raksasa yang jatuh ke Danau Toba dari daerah pegunungan ini diberi nama Batu Guru.

Dari ratusan lebih daftar situs wisata Pemkab.Samosir yang masing-masing memiliki daya tarik tersendiri dan legenda tersendiri, salah satunya adalah Objek Wisata Batu Guru yang terletak di tepi pantai Danau Toba tepatnya di Pantai Desa Pangaloan Kecamatan Nainggolan-Samosir atau sekitar 2 Km ke arah Timur Kecamatan Nainggolan-Samosir. Objek wisata ini tidak asing lagi bagi sebagian besar warga samosir karena letaknya yang cukup strategis berada di tepi pantai juga mudah dijangkau melalui perjalanan darat yang hanya sekitar 50 m dari Jalan Provinsi-Lintas Samosir.

Batu Guru demikian objek wisata ini diberi nama, dimana Batu Guru memiliki sejarah yang cukup panjang perjalanannya yang mengisahkan kejayaan orang batak toba yang berdomisili di seputaran Kecamatan Nainggolan. Adapun kisah Legenda batu Guru yang menurut penuturan warga setempat adalah batu yang terjadi akibat suatu pertarungan antara Raja-Raja sehingga dari hasil pertarungan terjadilah dua buah batu besar yang bertikai, dimana salah satu batu berada di darat atas perkampungan dan satu lagi berada di daerah tepi pantai Danau Toba dengan ukuran yang cukup besar.

Selain sejarah panjang perjalanan Legenda Batu Guru ini ditambah letaknya yang cukup menarik karena berada di Danau Toba juga terdapat keunikan yang cukup mengagumkan, hal ini kami lakukan sendiri penelitian dengan uraian sebagai berikut:
Batu Guru yang berada di tepi pantai Danau Toba memiliki ukuran berdiameter ± 50m dengan ketinggian dari permukaan air ± 5 m dan kedalam sekitar 3m. Batu ini letaknya tidak mengena secara langsung ke dasar Danau melainkan di topang oleh tiga buah batu berukuran sedang sehingga dengan kekokohan ke tiga buah batu yang menopang Batu Guru tersebut, dipastikan kita dapa menyelam meyeberangi batu dari sisi ke sisi lain batu tersebut dan sesuai dengan beberapa filsafat orang batak, keberadaan serta susunan Batu Guru yang di topang oleh tiga buah batu berukuran sedang, diyakini bahwa Batu Guru menjadi Lambang Nyata Filsafat orang batak yang menyebutkan "Dalihan Na Tolu" yang terdiri dari:

    Somba Mar Hula-hula
    Elek Marboru
    Manat Mardongan tubu

Perobahan cuaca yang tidak menentu tak juga mengobah letak batu tersebut, bahkan Gempa Sunami yang terjadi di daerah Aceh yang efeknya juga sangat kuat hingga ke daerah Samosir pada beberapa tahun silam juga tidak memiliki dampak atau pengaruh terhadap letak posisi Legenda Batu Guru tersebut. Hingga saat ini, keberadaan Legenda Batu Guru menjadi salah satu Icon wisata paling terkenal dari Kecamatan Nainggolan ditambah beberapa tempat wisata lainnya yang tak kala menarik. Namun selain tempat wisata yang memiliki segundang sejarah ini, warga setempat juga masih memiliki keyakinan tersendiri terkait pelestarian budaya dimana hingga saat ini, kita masih dapat menemukan beberapa sesajian yang dibuat oleh warga setempat karena diyakini Batu Guru tersebut memiliki kekuatan spritual dalam budaya batak toba.

Dulu tempat ini (Batu Guru) menjadi tempat paling populer bagi kalangan pelajar yang berada di kawasan Kecamatan Nainggolan karena tempat ini dimanfaatkan sebagai tempat berlibur bersama rekan-rekannya. Dengan potensi wisata yang cukup menjanjikan, warga setempat dan pengunjung yang berasal dari dalam atau luar daerah Samosir hanya berharap Pemerintah memberikan sentuhan Penataan kawasan wisata Batu Guru tersebut agar lebih layak dan lebih menarik untuk di kunjungi. Keberadaan situs Batu Guru ini akan menjadi salah satu potensi wisata yang memperkaya Objek Wisata di Kabupaten Samosir.

http://dishubkominfo.samosirkab.go.id/statis-137-legenda-batu-guru.html

Kamis, 14 Januari 2016

ULOS BATAK DAN MAKNA YANG TERKANDUNG DIDALAMNYA

Ulos yang sering disebut kain ulos merupakan salah satu kain khas Indonesia yang secara turun temurun diwariskan oleh masyarakat Batak, Sumatera utara.Dari bahasa asalnya, ulos berarti kain. Cara membuat ulos serupa dengan cara membuat songket khas Palembang, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin.
Warna dominan pada ulos adalah merah, hitam, dan putih yang dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak. Mulanya ulos dikenakan di dalam bentuk selendang atau sarung saja, kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak, namun kini banyak dijumpai di dalam bentuk produk sovenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan gorden.

Ulos juga kadang-kadang diberikan kepada sang ibu yang sedang mengandung supaya mempermudah lahirnya sang bayi ke dunia dan untuk melindungi ibu dari segala mara bahaya yang mengancam saat proses persalinan.Selain sebagai penghangat badan dikala dingin menerjang,ulos sering kali dianggap sebagai jimat, yang mana kain ini diyakini mempunyai kekuatan yang mampu melindungi raga, yang didalam adat Batak disebut dengan Tondi terhadap roh jahat.

Ulos merupakan pakaian khas suku Batak di Sumatera Utara, bentuknya menyerupai selendang dengan panjang sekitar 1,8 meter dan lebar 1 meter, kedua ujungnya berjuntai-juntai dengan panjang sekitar 15 cm dan pembuatan Ulos dilakukan oleh kaum perempuan mereka menenun dari benang kapas atau rami.

Adapun makna yang terkandung dalam Warna yang digunakan pada kain ulos adalah :

1.Putih  : Melambangkan Kesucian dan kejujuran
2.Merah  : Melambangkan Kepahlawanan dan keberanian
3.Kuning : Melambangkan Kaya/kesuburan
4.Hitam  : Melambangkan Duka

Untuk pemakaiannya kain ulos tidak dapat dikenakan dengan sembarangan, dimana pemakaiannya harus sesuai dengan acaranya diantaranya seperti pada acara:

1. Perkawinan : Menggunakan Ulos Ragi Idup yang bercorak Cerah
2. Pemakaman  : Menggunakan Ulos Ragi Hotang yang bercorak Gelap

Orang Batak juga mengenal upacara Mangulosi ini merupakan ritual Pemberian Kehangatan dan Kasih Sayang penerimanya, dan umumnya pemberi ulos itu adalah:

1.Orang tua kepada anak-anaknya
2.Adik kepada kakaknya
3.Hula-hula (keluarga laki-laki dari pihak perempuan) kepada Boru.

Demikianlah makna yang terkandung pada kain tenun khas batak  atau yang biasa dinamakan dengan ulos, semoga artikel ini semakin memperluas wawasan anda dengan ulos yang mungkin saja selalu anda lihat pada setiap perhelatan acara adat batak dan juga dalam kehidupan sehari di masyarakat batak.
Terima kasih.

Selasa, 12 Januari 2016

KESAKTIAN PUSTAHA LAKLAK BATAK

Pernahkan anda mendengan tentang Pustaha Laklak Batak? Pustaha Laklak batak adalah sebuah buku atau surat dalam budaya Batak yang berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, keterangan tentang cara menolak hal-hal yang jahat (poda), mantra, ramalan-ramalan baik yang baik maupun yang buruk, serta ramalan mimpi. Buku ini biasa ditulis dengan aksara Batak. Secara fisik, pustaha terdiri dari lampak (sampul) dan laklak (kulit kayu sebagai media penulisan).Sampul buku ini sering dihiasi dengan motif Ilik, seekor kadal yang melambangkan dewa Boraspati ni Tano.

Pada dasarnya ilmu pengetahuan yang tertulis di dalam pustaha laklak Batak dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu ilmu yang menyambung hidup, ilmu yang menghancurkan hidup dan ilmu nujum. Pustaha digunakan oleh seorang datu atau seorang murid yang belajar untuk menjadi seorang datu. Pustaha biasa dibuat dari kayu atau kulit kayu pohon alim (Aquilaria malaccensis) yang dikupas. Panjang kulit kayu bisa mencapai 7 meter dan lebar 60 cm. 

Huruf-huruf di pustaha laklak Batak punya banyak keistimewaan, beberapa di antaranya huruf-huruf dalam Pustaha laklak Batak tidak akan basah walau direndam dalam air, akan tetap tampak, walau kertasnya sudah terbakar api, atau dikubur dalam tanah selama 10 tahun. Keistimewaan Pustaha Laklak itu karena ketika akan membuat Salo (bahan tinta Laklak), para nenek moyang selalu dan terlebih dulu memanjatkan doa (martobas). Seperti berikut: ASA HO MA ALE SALO NANI ONDOLHON NUPISO RAUT PANABUNG NANI ALITHONNI API MARJILLANG-JILLANG. ASA JADI MA HO SALO NAMANGUHIRHON RAKSA-RAKSA NI PORTIBON NA SUNTOL INGANANNI-INGANANNA. DIDADANG ARI NASORA MABILTAK NITAMOM NA SORA BUSUK HU UDAN NASORA LITAP. “Tobas Salo ini betul-betul terjadi dan terbukti. Yakni saat kita membuat salo, nyala api diarahkan ke parang atau pisau.

Surat Batak bisa menuliskan di luar pola nyata sampai apa yang disebut Banua Holing. Kemudian, bila direndam ke air, tulisan-tulisan huruf-huruf Batak tidak akan basah, bahkan kalau dibakar, huruf-huruf Batak tetap tampak, tapi kertas telah habis terbakar, sampai kalau dikubur dalam tanah satu sampai 10 tahun, huruf-huruf Batak tetap ada, sementara kerta atau kulit kayu sudah jadi tanah.

Bahkan konon katanya, sebuah pustaha laklak Batak yang disimpan di perpustakaan Universitas Leiden memiliki panjang hingga 15 meter lebih sampai saat ini masih tersimpan dengan baik dan utuh.

SIBORU TUMBAGA - SEBUAH LEGENDA BATAK

Di desa Sisuga-suga tinggallah seorang tua bernama Ompu Guasa. Dia mempunyai seorang adik bernama Amani Buangga. Namun sang adik tidak seperti abangnya yang sudah lama memiliki banyak harta. Konon pada masa mudanya Ompu Guasa rajin berniaga ke daerah Barus serta punya banyak kenalan. Sekarang uban mulai menjadi mahkota di kepalanya. Sehari-hari pun ia lebih suka berdiam di rumah untuk merenungkan perjalanan hidup. Tiba-tiba pikiran Ompu Guasa terantuk kembali pada kenyataan bahwa dirinya belum memiliki seorang anak lelaki untuk mewarisi semua hartanya. Istrinya pun sudah lama meninggal. Dua orang putrinya, bernama Siboru Tumbaga dan Siboru Buntulan, tak mungkin mewarisi semua harta kelak.

Adat selama ini seperti memastikan hak waris hanya dapat diteruskan oleh anak laki-laki. Kenyataan itulah yang sering membuat Ompu Guasa gelisah meskipun adiknya mempunyai keturunan laki-laki
Kegelisahan Ompu Guasa sangat terkesan dalam batuknya. Namun selalu beliau menyembunyikan perasaan dengan mengambil salohat. Alat musik dari bambu itu selalu diselipkan di kantong baju dan dilap sesekali dengan selempangnya, sehelaiulos ragihotang. Jemarinya menekan-nekan empat lobang pada jenis seruling kecil itu sampai perasaannya dapat terbenam.
“Among,” kedua putrinya sebentar menghentikan tiupannya karena mau permisi. “Kami pergi dulu ke sawah. Ayah tinggal di rumah sajalah ya.”
“Ya, berangkatlah kalian!” jawabnya sebelum melekatkan alat musik itu kembali ke bibirnya. Bila sendirian di rumah, Ompu Guasa merasa lebih leluasa memainkan salohatnya sampai terkadang seperti ratapan. Ratapannya memang menjadi tersimpan rapi dalam permainan alat musik itu. Beliau tidak pernah mampu meratap dengan andung karena tidak pintar berkata-kata.

Belum tuntas semua kegelisahan, kedua putrinya tiba-tiba kembali ke rumah. Mereka terusik dan tak tahan mendengar senandung seorang gembala di tengah jalan. Sebenarnya mereka ingin meneruskan langkah sampai ke sawah. Namun hati Siboru Tumbaga langsung seperti disayat sembilu setelah mendengar senandung itu.“Kenapa kalian kembali tiba-tiba, boruku?” dilihatnya sedikit rasa cemas di wajah putri sulungnya Siboru Tumbaga. Demikian pula pada wajah Siboru Buntulan, adik satu-satunya Siboru Tumbaga.
“Begini, among. Kami sangat berharap agar ayah segeralah menikah lagi,” tandas Siboru Tumbaga. Ompu Guasa menduga kalau kegelisahannya selama ini mengalir dan membuahkan permintaan kedua putrinya itu.
Namun ia masih mencoba menolak.“Mana mungkin aku dapat menikah lagi setua ini. Mataku pun sudah mulai rabun. Perempuan mana lagi yang bersedia kuperistri, wahai putriku? Sudahlah! Biarlah kuterima nasibku.”“Kumohonkan, among. Jangan lagi menolak permintaan ini. Tadi sebelum mendadak kembali ke rumah ini, ada seorang gembala melantunkan lagu begini: Duhai, perahu di tengah danau! Andai dayungmu patah, kemana gerangan engkau hanyut. Wahai, sang putri yang gemulai. Andai ayahanda mati, kemana gerangan engkau berpaut! Begitulah yang kami tangkap, among!”
“ Sudahlah. Kalau takdir pada badan sudah begini diberikan Sang Mulajadi Nabolon, aku tetap bisa menerimanya.” Entah sudah berapa kali Ompu Guasa mencetuskan perkataan itu di hadapan kedua putrinya. Namun karena Siboru Tumbaga tetap mendesakkan permintaan itu, akhirnya Ompu Guasa bersedia. “Kalau begitu terserahmulah, Boru Tumbaga. Kalau aku harus menikah lagi, lakukanlah apa yang bisa engkau lakukan.”

Mendengar perkataan terakhir itu, Siboru Tumbaga tergerak untuk berangkat ke Barus. Di Barus ada seorang dukun bernama Datu Partungkot Bosi. Sang dukun sudah lama terkenal dengan berbagai keahliannya untuk meramalkan sesuatu. Datu Partungkot Bosi juga ahli tersohor di wilayah barat negeri yang menguasaidebata ni parmanukon, semacam peta baik-buruk untuk sesuatu yang direncanakan. Dari desa Sisuga-suga ke Barus, orang akan melalui hutan dan tempat-tempat berbahaya terutama bagi kaum perempuan. Saat menempuh perjalanan itu Siboru Tumbaga melakukan penyamaran seperti lelaki.
Dipilihnya salah satu pakaian dan topi dari lemari ayahnya. Dia pun tak lupa menggunakan kumis palsu. Sampai kebetulan ketemu di tengah hutan dengan Datu Partungkot Bosi, Siboru Tumbaga selalu berusaha menciptakan gerak-gerik menyerupai seorang laki-laki suruhan. Terkadang dia ketakutan juga dengan penyamaranannya.“Bah, lae! Kenapa kau ketakutan melihatku?” Tiba-tiba meluncur pertanyaan dari laki-laki di hadapannya itu. “Kita tidak kebetulan sama-sama manusia juga di tengah hutan ini. Kenapa kau kelihatan takut?”“Kuucapkan salam kepadamu, lae. Horas!” Balas Siboru Tumbaga sambil berusaha menirukan suara lelaki. “Kebetulan aku hendak ke negeri Barus menemui Datu Partungkot Bosi.”
“Kuharap kau jangan berpura-pura tidak mengenalku. Akulah Datu partungkot Bosi. Lalu kenapa kau memerlukanku?” Siboru Tumbaga sempat tidak percaya kalau yang dijumpainya di tengah hutan itu adalah Datu Partungkot Bosi. Namun setelah memperhatikan tampangnya yang serupa dengan cerita Ompu Guasa, Siboru Tumbaga mengakui dirinya sebagai suruhan Ompu Guasa. Lalu dari tuturan sang dukun itu, Siboru Tumbaga kemudian tahu bahwa Ompu Guasa adalah sahabat lama Datu Partungkot Bosi.
Datu Partungkot Bosi tidak begitu sulit menduga hal-hal baik dan buruk melalui debata parmanukon. Datu Partungkot Bosi benar-benar melihat tanda ajal dari sahabat lamanya itu. Ia pun menyarankan kepada Siboru Tumbaga agar melarang Ompu Guasa ke luar rumah dalam waktu seminggu.

Namun karena Ompu Guasa suatu hari berkeras mau memeriksa sawah dan hewan peliharaannya, ramalan Datu Partungkot Bosi itu pun terjadilah. Beberapa orang penduduk yang melihatnya tergelincir di pinggir sawah tergesa-gesa memberi kabar kepada kedua putri yang sedang membersihkan sekeliling rumah. Mereka pun membawa Ompu Guasa kembali ke rumah. Tapi sampai di rumah tampak Ompu Guasa tidak akan lama lagi menghembuskan nafas terakhirnya. Dengan terbata-bata ia pun menyampaikan pesan kepada kedua putrinya.
“Boru Tumbaga dan Boru Buntulan, simpan…lah barang-barang berhar…ga untuk kalian berdua. Bayangan ibumu sudah sangat dekat untuk men…jem…putttku.”
Pilu yang sangat mendalam memperkuat tangisan Siboru Tumbaga dan Siboru Buntulan. Ditambah lagi ratapan dari beberapa orang di dalam rumah, membuat penduduk lain desa Sisuga-suga bergegas menuju arah tangisan. Satu-satunya manusia yang menahan dirinya tidak bergegas ke sana adalah Amani Buangga. Dia baru ke sana setelah dijemput.Melewati pintu rumah yang sedang berduka itu, Amani Buangga sengaja pura-pura bertanya sambil mengarahkan pandangannya kepada Siboru Tumbaga: “Bah! Apakah ayahmu ini sudah betul-betul meninggal?” Tak cukup dengan itu, ia melanjutkan lagi: “Sekarang ayahmu sudah meninggal, Boru Tumbaga dan Boru Buntulan. Di mana kalian simpan semua harta itu?” Tentu bukan saja kedua putri itu yang terkejut dengan perilaku Amani Buangga. Salah seorang tetua kampung mencoba
mengingatkan agar Amani Buangga lebih dulu melaksanakan adat penguburan jasad Ompu Buangga.
Nampaknya Amani Buangga benar-benar tidak suka diingatkan soal adat penguburan. “Hah! Aku mau datang ke sini hanya untuk mengambil semua harta yang masih ada. Bukan untuk mengurusi adat penguburan kakandaku ini! Mestinya kalian sudah lebih tahu tata cara mengangkat mayat ini ke tempat penguburan.”
“Maaf. Kita hanya ingin melaksanakan adat yang diturunkan leluhur kepada semua kita, termasuk adat untuk penguburan orang meninggal.” Tetua itu kembali mengingatkan Amani Buangga. Namun Amani Buangga semakin memperkeras suaranya dengan nada mengancam. “Kalau kalian tidak mau menguburkan jasad ini, aku akan membuangnya ke pekarangan sana!”

Sungguh tidak terduga perkataan Amani Buangga seperti itu. Apalagi ia ucapkan di tengah kumpulan orang yang tengah berduka. Perkataan itu melanggar adat. Namun tetua kampung merasa lebih baik tidak menanggapi perkataan itu. Ia meminta orang-orang mengangkat mayat Ompu Buangga dan menguburkannya secepat mungkin. Namun selama waktu penguburan, Amani Buangga tetap tinggal di rumah Ompu Guasa. Ia juga tidak mengijinkan Siboru Tumbaga dan Siboru Buntulan keluar dari rumah itu. Malahan ia semakin mencecar mereka dengan pertanyaan soal harta peninggalan Ompu Guasa.
“Aku sudah periksa hombung, peti harta itu! Tak satu pun lagi yang ada di sana. Di mana kalian sembunyikan pinggan pasu dan semua ulos?” Didesaknya terus kedua putri itu secara bergantian. Kalau semua pertanyaan terlambat dijawab, Amani Buangga menampar wajah kedua putri itu. Ketika semua orang mulai kembali dari tempat penguburan, tetua kampung dengan berani kembali menegur Amani Buangga.
“Maaf. Kami sudah kembali dari tempat penguburan. Sekarang kami lihat kamu mulai menyiksa kedua putri ini.” Mendengar teguran ini, Amani Buangga semakin berang dan mengatakan: “Akulah yang berhak di rumah ini. Kalau kubilang mau menggorok leher mereka berdua, aku akan gorok! Kalian mau apa?”
“Kamu benar-benar tidak beradat, Amani Buangga! Memang kamulah yang berhak di rumah ini sekarang dan,,,”“Kalau kalian sudah tahu, kenapa harus kembali ke rumah ini? Kalian tidak perlu datang lagi ke sini hanya untuk menyinggung adat!” Amani Buangga semakin tak perduli. Amani Buangga malah mengusir dan mencemooh mereka soal penghormatan atas adat. Sepeninggal para tetangga, Amani Buangga terus menyiksa kedua putri itu sebelum akhirnya mengikat mereka sampai beberapa hari di pekarangan rumah.

Namun diam-diam pada suatu malam seorang tetangga melepaskan tali yang mengikat tangan kedua putri itu.
Setelah bebas Siboru Tumbaga dan Siboru Buntulan merasa lebih baik meninggalkan desa Sisuga-suga untuk menghindari ancaman Amani Buangga. Demikian pula saran dari tetangga yang membebaskan mereka. Lalu mereka pergi ke hutan yang cukup jauh jaraknya dari desa Sisuga-suga. Namun di tengah hutan mereka berdua tentu kelaparan dan kehausan.
“Kakanda, Boru Tumbaga,” keluh Siboru Buntulan sambil memberi tahu rasa lapar dan hausnya. Mereka lalu memetik buah-buahan yang bisa mereka jumpai di hutan. Berhari-hari mereka berusaha bertahan di hutan itu tanpa memperdulikan apa yang akan terjadi. Sementara binatang-binatang liar dan buruan berkeliaran di hutan itu. Suatu ketika mereka mendengar suara-suara aneh di kejauhan. Karena takut akan suara-suara itu Siboru Tumbaga dan Siboru Buntulan bersembunyi di balik rumpun-rumpun tanaman besar sambil terus menahan lapar dan dahaga.

Menjelang sore hari, Siboru Tumbaga dan Siboru Buntulan tak kuasa menahan rasa lapar dan haus. Tapi mereka tak tahu harus berbuat apa. Mereka pun menangis sejadi-jadinya. Tiba-tiba dari tempat lain di hutan itu, dua orang pemburu terkejut mendengar suara tangisan mereka. Mereka menduga suara itu hanya tipuan dan menganggap mustahil ada manusia selain mereka berdua saja. Lalu mereka mencoba bergantian meneliti ke arah datangnya suara tangisan itu. Kedua pemburu itu adalah abang beradik yang sebenarnya terkadang sama takutnya.“Woooi, apakah kalian manusia?” Mendengar suara itu, Siboru Tumbaga dan Siboru Buntulan menyahut: “Yaaa…! Kami manusia!”
Si abang meyakinkan adiknya kalau suara yang menyahut itu benar-benar suara manusia.
“Ah!” Begitulah langsung reaksi adik pemburu itu. “Itu hanya tipuan hantu yang menjaga hutan ini agar kita mendekati mereka sebelum menelan kita. Tapi coba dulu, tanya mereka berapa jumlahnya.”
“Woooi! Kalau kalian benar-benar manusia, berapa orang kalian ada di situ?”
“Dua oraaang!” Sahut kedua putri.
Si abang kembali menyampaikan informasi itu. Lagi-lagi adiknya tidak percaya dengan mengatakan: “Ah, karena mereka sudah tahu kita ada dua di sini, dibilanglah mereka dua. Ayo, ayo. Kita pulang saja sebelum ditelan mereka!”

Karena si abang lebih berpengalaman berada di hutan itu, dia pun berusaha meyakinkan adiknya. Mereka lalu mendekati sumber suara itu sampai bertemu dengan sosok kedua putri yang sudah mulai kelihatan sangat lapar dan haus. Sebelum kedua pemburu itu bisa menanyakan asal-usul kedua putri, mereka terpaksa memberikan seluruh perbekalan makan dan minum mereka.
“Kalau kalian adalah putri Ompu Guasa, kenapa kalian sampai terdampar ke sini?” Setengah tidak percaya, salah seorang pemburu mulai melontarkan pertanyaan. Meskipun para pemburu itu adalah penduduk luar desa Sisuga-suga, nama Ompu Guasa sebagai orang kaya sudah tersiar ke mana-mana. Kemudian Siboru Tumbaga menceritakan kejadian dan perilaku yang mereka terima dari adik kandung ayah mereka sendiri, yakni: Amani Buangga. Kedua pemburu itu bukan saja terkejut dan ingin membantu Siboru Tumbaga dan Siboru Buntulan. Namun kebetulan juga mereka belum mempunyai pasangan hidup. Abang beradik
pemburu itu pun menyatakan niat mereka menikahi putri-putri Ompu Guasa. Kedua pasangan tersebut akhirnya hidup berkeluarga.

Namun suami-suami mereka tetap memendam rasa marah atas perlakuan Amani Buangga kepada istri mereka. Suatu ketika keduanya pergi ke desa Sisuga-suga untuk memperlakukan Amani Buangga seperti yang dilakukannya kepada kedua istri.
Mereka ikat Amani Buangga di tengah kampung itu. Tibalah saatnya Siboru Tumbaga dan Siboru Buntulan berpura-pura lewat dan melepaskan ikatan Amani Buangga itu. Amani Buangga tidak pernah menduga kalau Siboru Tumbaga dan Siboru Buntulan masih hidup. Akhirnya dengan tulus hati, Amani Buangga menyesali semua perbuatannya dan ingin mengembalikan semua harta yang layak diwarisi oleh Siboru Tumbaga dan Siboru Buntulan.