Tuak takkasan,Aren,Nira,Bir panjat adalah beberapa sebutan untuk tuak. Minuman ini merupakan produk eksotik, minuman khas dan kegemaran sebagian besar halak batak terutama yang ada di bona pasogit. Tuak atau pohon aren dalam bahasa latin disebut Arenga pinnata mirip pohon kelapa. Keberadaan tuak atau aren ini kini terasa semakin langka. Pada hal untuk membudidayakan sebatang pohon enau hingga terkategorikan dewasa, butuh waktu selama 10 tahun. Dulu, biasanya tuak atau aren akan tumbuh sendiri di daerah pinggiran desa atau perbatasan huma dan hutan.
Ada beberapa candaan yang sehubungan dengan akibat dari minum tuak.
Segelas tuak penambah darah. 2 gelas, lancar bicara. 3 gelas, mulai tertawa-tawa. 4 gelas, mencari gara-gara. 5 gelas, hati membara. 6 gelas, membuat perkara. 7 gelas, semakin menggila. 8 gelas, membuat sengsara. 9 gelas, masuk penjara dan 10 gelas, masuk neraka.
Banyak orang mempercayai, bahwa pohon aren atau tuak ini ditanam oleh musang atau luak (Paradoxurus hermaproditus). Binatang musang ini lebih dikenal orang sebagai pencuri ayam daripada sebagai binatang pemakan buah aren. Di beberapa daerah di pesisir pulau Jawa musang atau luak ini memanen dengan paksa kopi milik petani. Mencuri, memakan dan menghasilkan kopi luak. Pada daerah yang banyak pohon aren biasanya binatang musang ini akan berkembang karena buah ini sangat digemarinya. Umumnya daging buah aren yang sudah masak dan manis dilahap dan dinikmatinya, sedangkan bijinya dibuang/diberakkan melalui sekressi atau saluran pembuangan di pintu belakang.
Biji yang dibuang inilah yang diyakini dapat berkembang, berkecambah (walau tidak selalu berhasil), dan kemudian tumbuh sebagai pohon aren di daerah terpencil yang menjadi habitat musang bersembunyi. Hal ini dapat terlihat dari pertumbuhan dan penyebaran pohon aren liar itu selalu tidak teratur. Karena musang tidak pernah memilih dan mengatur tempat untuk berak sehingga jarak tanamnya tidak teratur. Hasilnya adalah bahwa kebanyakan aren akan tumbuh di daerah kritis yang tanahnya miring, setengah gundul karena erosi tanah atau penuh alang-alang. Tempat-tempat seperti inilah yang merupakan tempat pelarian musang.
Profil ataupun sosok dari pohon Aren atau tuak itu sebenarnya cukup menyeramkan. Batangnya tinggi, angker, kotor, dengan rambut hitam, bekas pelepah daun yang tumbuh epifit pada batangnya. Pohon ini terkesan angker meskipun banyak segi kegunaan dan manfaat yang di dapatkan dari padanya.
Berdasarkan banyaknya manfaat yang didapat dari tanaman ini, rasanya tidak berlebihan jika tuak juga bisa dikategorikan sebagai pohon yang multi guna. Patinya diolah di pabrik hingga menghasilkan bihun. Selain itu juga bisa diolah menjadi gula aren, sementara buahnya dapat dijadikan kolang kaling. Dengan penanganan proses pasca panen, kolang kaling ini juga bisa berpeluang menembus pasar ekspor jika diolah dan dikemas dalam bentuk kalengan. Pangkal pelepah daun yang sudah cukup tua bisa dianyam untuk berbagai produk kerajinan yang bernilai ekonomis cukup tinggi. Sapunya sebagai ijuk, tali tambang dan sikat.
Konon, katanya dulu ketika masih sulit mendapatkan korek api, kawul (gumpalan seperti kapas yang terdapat di tengah-tengah pangkal pelepah daun) digunakan sebagai penyulut api. Daunnya bisa dimanfaatkan sebagai atap. Tuak yang diminum setelah melalui proses permentasi, berasal dari tangkai tandan bunga jantan penghasil nira. Bila diproses lebih lanjut, bisa juga sebagai penghasil cuka. Dengan kegunaan pohon aren atau tuak yang multi guna ini rasanya budidaya tanaman ini perlu digalakkan (Bukan merupakan ajakan untuk menggalakkan minum tuak, agar orang batak yang doyan minum tuak bisa lebih galak. Awas Batak Galak !) Dan yang tidak kalah pentingnya ialah tuak takkasan seperti di awal tulisan ini bisa membuat teler hingga lupa daratan.
Kegunaan pohon aren yang begitu banyak tersebut perlu diimbangi dengan usaha untuk melestarikannya. Tanaman ini cukup berpotensi dan mempunyai prospek yang cemerlang jika teknik budidaya serta persayaratan agronomis lainnya betul-betul diperhitungkan. Musang yang dianggap berperan dalam hal penyebaran biji aren, ternyata sekarang sudah mulai langka. Diburu dan dimusnahkan karena dianggap sebagai hama yang memangsa ayam milik petani. Pada hal keseimbangan ekosistem merupakan bagian dari pemusnahan musuh alami. Peran ilmu dan teknologi dituntut di sini. Musang tidak boleh disetarakan menjadi petugas pertanian yang mengupayakan pembibitan.
Banyak faktor yang menjadi kunci keberhasilan dalam budi daya tanaman ini. Selain pembibitan yang memenuhi persyaratan, perawatan yang teratur juga memegang peranan. Hal penting lainnya, di samping pengambilan hasil (seperti dalam ?maragat?) perlu penanganan yang bijaksana sehingga pohon dapat berproduksi optimal.
Banyak hal yang menjadi halungunon (kesedihan, miris) sehingga mengakibatkan pohon aren menjadi langka. Karena untuk dapat tetap survival, komoditi ini dihadapkan pada beberapa masalah yang krusial. Di samping berkurangnya populasi musang yang sekaligus berperan sebagai petugas pembibitan dalam perbanyakan dan penyebaran tanaman, ribuan pohon-pohon aren akan senantiasa ditebas untuk melayani pabrik bihun yang diolah dari batangnya. Ditambah lagi penebangan pohon untuk tujuan sebagai bahan kayu bangunan, talang air, penyangga genting rumah, tangkai kapak, tangkai cangkul dan lain sebagainya.
Akhir dari halungunon biasanya adalah hajagaron (kebahagiaan) dalam hal ini mungkin akan dapat terlihat jika pihak berkompeten dan institusi yang ada di Kabupaten Toba Samosir ini memberi perhatian terutama untuk kepentingan budi daya. Sebab bila ditilik dan dikaji ulang akan manfaat besar yang terkandung dari pohon ini, dikaitkan dengan permintaan pasar untuk ekspor ijuk (bahan untuk jok mobil pabrik Mercedes), gula enau, dan buah kolang-kaling kemasan kaleng serta serat optik-nya yang sangat berguna, sepantasnyalah pohon ini dijadikan primadonna, tidak sebatas pohon “na marbegu” untuk sebutan tuak atau nira.
sumber :http://tanobatak.wordpress.com/2007/08/10/tuak-takkasan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa meninggalkan komentar anda disini.