Sinamot tidak bisa dilepaskan dari sebuah pernikahan adat batak, marhata sinamot merupakan tahap penentuan dalam pernikahan. Di sinilah pihak pangoli (pihak laki-laki) dan oroan (pihak perempuan) menjalin kesepakatan tentang tatacara pernikahan yang dilaksanakan serta wujud hak dan kewajiban masing-masing. Oleh karena simpul-simpul kesepakatan telah dirumuskan ketika patua hata/marhusip, maka proses marhata sinamot akan berjalan mulus. Seusai marhata sinamot, pihak pangoli akan memberi parsituak na tonggi kepada semua anggota rombongan pihak oroan.Marhata sinamot adalah peristiwa adat untuk merundingkan sinamot (mas kawin). Rombongan paranak terdiri dari orang tua pangoli dan kawan semarga, boru dan tulang pangoli jika diperlukan, mendatangi rumah pihak oroan dengan komposisi yang sama termasuk tulang oroan yang kehadirannya wajib. Inilah representasi yang baku dan memenuhi persyaratan marhata sinamot. Kecenderungan mengikutsertakan aras hulahula lain di luar tulang, bukanlah keharusan adat. Mereka bukan parjambar na gok atau parjambar di jabu, melainkan diserahkan di halaman pada pesta pernikahan.
Sinamot mempunyai kedudukan penting dalam acara pernikahan adat Batak. Apa sebenarnya sinamot? Sinamot adalah harga atau uang beli yang diberikan paranak (mempelai lelaki) kepada parboru (mempelai perempuan) jika ingin menikah. Itu sudah menjadi adatnya. Dan bila ada yang tidak mengikutinya, apalagi dia suku Batak, berarti dia tidak memiliki adat.
Asal-usul sinamot diketahui dari pekerjaan orang suku Batak yang dahulu kebanyakan bertani (mangula).
Sehingga pada saat wanita dan pria akan menikah, otomatis istri mengikut si suami. Sehingga keluarga si
istri merasa pekerjaannya di sawah bertambah karena kurangnya pekerja (maksudnya pekerja keluarga). Di
sinilah si pria harus memberi ganti si wanita, entah itu wanita atau pria (orang ganti orang).Seiring perjalanan waktu, cara ini sangat tidak kena pada sasaran, sehingga diganti menjadi istilahnya GajahToba (horbo). Berjalannya waktu kemudian diganti lagi menjadi sinamot. Saat ini, sinamot berupa uang.Sinamot sangat berat, berapa banyak, kerbau, lembu, uang dan emas. Sesuai keadan si paranak (mempelai pria), maka sinamot itu lambat laun berubah menjadi alat tukar umum uang.
Sinamot ini pun sebenarnya sudah menjadi suatu kebanggaan bagi kedua belah pihak. Di mana anak borunya (anak perempuannya) dihargai dengan harga tinggi. Maka berbahagialah keluarga si perempuan. Begitu juga dari pihak paranak, bisa memberi sinamot banyak maka rasa banggalah yang ia dapatkan.Bahkan terkadang ada pihak lelaki yang membiayai semua pengeluaran pernikahan untuk keluarga si perempuan. Lagi pula, tak ada rugi sebenarnya jika sinamot besar bagi pihak lelaki, toh mereka nanti akan mendapatkan tumpak (amplop dari tamu-tamu yang datang).Tetapi lepas dari itu, seharusnya melihat kondisi pihak lelaki terlebih dahulu. Karena ada pernikahan yanggagal karena harga sinamot yang ditawarkan pihak lelaki tidak sesuai hati keluarga perempuan. Jika tidak ada dos ni roha, bagaimana caranya sukses pernikahan? Gagallah cerita penentunya. Jadi kedudukan sinamot sangat vital menuju pesta pernikahan adat Batak. Tidak jarang pernikahan menjadi tertunda atau gagal hanya karena sinamot.
Pada zaman sekarang, anak gadis bila sudah memiliki gelar (kuliahan), maka harga sinamotnya akan naik.
Kira-kira begitulah anggapan masyarakat masa kini. Itu persepsi orang banyak. Makanya bila melihat
pernikahan orang Batak, mata langsung tertuju pada papan bunga yang ada di acara pernikahan. Bila si wanita bergelar apalagi sampai S3 maka besar jugalah sinamotnya.
Jika tamat SMA (mungkin) sinamotnya tidak terlalu banyak. Yah, itu tidak mutlak. Karena ada banyak alasan. Pertama; wanita bergelar tetapi menikah dengan pengangguran, maka bagaimana ceritanya sinamot tinggi? Kedua; nah, jika kedua belah pihak ada dos ni roha? Lancarlah pernikahan tanpa memperdebatkan sinamot.Ada lagi jalan lain yang dilakukan suku Batak untuk melasungkan pernikahan. Atau sering disebut "kawin lari". Nah, itu dikatakan dalam adat Batak "mangalua". Jika diartikan secara harfiah, artinya adalah
melepaskan diri. Pernikahan yang terjadi tanpa restu orangtua, atau bisa dikatakan pernikahan yang tidak
diadati (mangadati).
Namun, setelah menikah nanti, memiliki keturunan dan mendapat restu dari pihak parboru pesta pernikahan bisa dimulai lagi yang disebut dengan sulang-sulang ni pahompu atau mangadati. Di sinilah sinamot juga
diperhitungkan walau kesannya sudah terlambat tetapi tidak mengurangi makna paradaton halak Batak (adat suku Batak). Hal ini sering juga disebut manggarar utang adat (membayar hutang adat).
Demikianlah pentingnya kedudukan sinamot dalam pernikahan adat Batak. Seperti yang sudah dijelaskan di awal tulisan ini, pernikahan bisa gagal hanya karena tidak ada kesepakatan jumlah sinamot antara pihak laki-laki dan pihak perempuan. Maka diperlukan kesepakatan melalui marhata sinamot, yang sudah dijelaskan juga di awal tulisan ini.
Bagi kaum naposo (kaum muda) suku Batak sebaiknya mulai memahami apa arti sinamot dan bagaimana kedudukannya yang begitu penting untuk keberlangsungan pernikahan. Tetapi tidak menjadi mutlak sebagai syarat satu-satunya untuk pernikahan. Menginggat masalah ekonomi saat ini yang semakin sulit bisa saja pernikahan adat Batak "terjungkal" di sinamot.
Dan hal ini tentu saja tidak kita inginkan. Bukankah yang terpenting dari esensi pernikahan adalah
kebahagiaan kedua insan yang bersepakat? Walau saya juga sepakat bahwa tradisi ini perlu tetap dilestarikan, tetapi tidak menjadi hambatan melangsungkan pernikahan. Sehingga kasus-kasus tidak jadi melangsungkan pernikahan hanya karena tidak cocok sinamot, tidak terjadi lagi.
Ada umpasa orang Batak mengatakan: "aek godang, do aek laut, dosniroha do sibaen nasaut". Atinya, satu hati menjadikan semuanya kesepakatan. Kiranya ini dipegang teguh sehingga bisa menjawab dan mengurangi
kekawatiran gagal menikah hanya karena sinamot.
sumber : http://www.medanbisnisdaily.com (Jon Roi Tua Purba)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa meninggalkan komentar anda disini.