Berikut akan kita telaah lebih dalam tentang latarbelakang dan faktor-faktor yang menyebabkan masayarakat Batak merasa akan pentingnya akan sebuah punguan itu.
Di tengah kehidupan kota yang sangat majemuk dan rumit, moderen dan mengglobal, penuh persaingan yang sangat keras dan mematikan, seperti metropolitan Jakarta ini rupanya banyak orang (termasuk yang berasal dari Batak) merasa terasing dan gamang. Karena itu mencari kembali habitat atau lingkungan asal dimana dia merasa “aman”, “tenteram” dan “damai” dan itu adalah persekutuan keluarga, marga, suku dan juga agama (atau campuran semuanya). Apalagi jika dia merasa sangat lemah, tak berdaya dan tersingkirkan.
Sebab itu tidak heran jika Punguan Batak sama seperti persekutuan-persekutuan keluarga asal suku lain justru sangat berkembang di jaman yang sebenarnya sudah sangat maju dan moderen ini. Menurut saja itu adalah sesuatu yang sangat logis dan manusiawi. Kehidupan kota moderen bagaikan rimba atau samudera tak bertepi dan sebagian besar orang tidak tahan berada di rimba raya atau samudera luas tak bertepi itu seorang diri, dan selalu rindu kembali ke kampung halaman atau keluarga besarnya, tempat paling aman bagi jiwanya. Punguan marga, kampung asal, trah atau keturunan dari satu kakek-nenek moyang, mungkin di bawah sadar dipandang sebagai comfort zone itu.Sebab itu fungsi pertama punguan-punguan Batak adalah tempat bernostalgia atau reuni. Yang paling merindukan dan membutuhkannya tentu orang-orang yang pada masa kecil atau remajanya memang pernah bersama-sama di kampung. Dengan berjumpa kembali dengan kerabat dan sahabat masa kecil tentu hati kita merasa aman dan senang, walau hanya sejenak. Minimal dapat melupakan keras dan beratnya masalah kehidupan masa kini, apalagi jika memang di situ kita menemukan teman-teman yang bisa menjadi tempat curhat.
Berhubungan dengan itu, fungsi punguan-punguan Batak ini adalah untuk memelihara identitas dan akar budaya. Tidak bisa dipungkiri di kota yang sangat besar dan majemuk serta moderen seperti Jakarta orang bisa merasa kehilangan identitasnya. Dengan secara rutin mengunjungi-dikunjungi oleh para saudara dan kerabatnya, bertutur kembali dalam bahasa ibu, menikmati makanan khas suku, melakukan kebiasaan-kebiasaan adat, maka orang-orang Batak kota ini merasa identitasnya tetap terpelihara. Selanjutnya juga merasa tetap mempunyai akar budaya agar tidak tumbang atau rubuh di tengah kehidupan moderen ini.
Fungsi lain dari punguan-punguan Batak ini tentu meneguhkan kebersamaan. Tantangan kehidupan moderen sangat berat dan orang merasa tidak sanggup menghadapinya seorang diri. Kita benar-benar membutuhkan dukungan moral dan spiritual dari keluarga dan saudara. Pada akhirnya keluarga dan saudara inilah yang selalu tersedia bagi kita saat kita susah atau membutuhkan orang lain hadir.
Masih ada lagi punguan-punguan Batak ini bisa menjadi tempat hiburan atau rekreasi yang murah. Jika kita harus pergi ke mal atau tempat rekreasi tentu biayanya sangat mahal, namun dengan mengunjungi saudara tidak perlu biaya kecuali ongkos.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa punguan-punguan Batak ini juga bisa menjadi faktor negatif atau merugikan jika kita tidak mengkritisinya. Yaitu: bila punguan itu dijadikan hanya sekadar tempat pelarian yang membuat kita semakin menjauh dari realitas dan menciptakan sebuah dunia artifisial. Alih-alih mendorong anggotanya berjuang dan membekalinya menghadapi realitas kehidupan punguan itu malah bisa tanpa sadar menjadi semacam obat penenang dosis tinggi. Masalah tidak dipecahkan namun hanya dialihkan dan coba dilupakan (walau pasti tidak pernah bisa berhasil). Apalagi jika aktifitas punguan itu hanya makan-makan dan ketawa-ketawa belaka, atau hanya sibuk dengan urusan masa silam, tanpa pernah serius menggumuli kehidupan kekinian dan masa depan anggotanya. Bagi yang memiliki finansial kuat tentu tidak terlalu masalah, namun bagaimana dengan yang hidup pas-pasan dan susah? Lebih berbahaya lagi jika dalam punguan itu dibiasakan bermain kartu sampai malam atau pagi dengan dalih “menghilangkan stress” atau “sekedar bersenang-senang bersama saudara”.Sebab itu menurut punguan-punguan kekerabatan Batak seharusnya diarahkan sebagai daya penggerak ke masa depan. Yang paling penting bukanlah masa lalu yang indah, tetapi masa depan yang pasti dan cemerlang. Masa lalu yang paling menyakit sekali pun tidak masalah, jika kita memiliki harapan yang kuat akan masa depan. Sebab itu kita harus memakai punguan itu sebagai kesempatan menyatukan doa, tekad dan keyakinan untuk melangkah ke masa depan.
Kebersamaan pada jaman kita kini tidak boleh hanya kebersamaan dalam ritus-ritus domestik (seremoni di sekitar kelahiran, perkawinan, kematian), tetapi harus dikembalikan seperti pada masa leluhur kita: gotong royong atau siadapari secara ekonomi. Mungkin ditambah: pengetahuan dan informasi. Leluhur kita
tidak hanya bersama-sama saat pesta tetapi terutama bekerjasama membuka hutan, membangun rumah, mengerjakan sawah, berperang dan lain-lain. Namun kini kebersamaan itu telah mengalami reduksi yang sangat parah sehingga tinggal hanya dalam seremoni, itu pun seringkali yang sangat konsumtif dan artifisial (semu) sifatnya. Jika punguan-punguan Batak dapat kita arahkan kembali sebagai kekuatan ekonomi, pengetahuan dan pendidikan, serta informasi saya pikir maknanya akan sangat tinggi. Apalagi bila diarahkan untuk membentuk karakter Batak yaitu: jujur, setia, kerja keras, santun dan hormat, serta egalite.
Terimakasih amang Daniel Taruli Harahap, atas penjelasan dan pejabaran arti dan pentingnya punguan di tengah masyarakat Batak khusus di tanah perntauan, saya sebagai seorang seniman dan pencipta lagu, sangat tertarik dgn berkembangnya punguan Batak di Perantauan. Horas.
BalasHapus