Rabu, 19 Agustus 2015

TURUNKAN HARGA SINAMOT

Asal  usul sinamot sebenarnya dimulai dari pekerjaan orang suku batak yang dahulu kebanyakan bertani (mangula). Sehingga pada saat wanita dan pria akan menikah, otomatis istri mengikut si suami. Sehingga keluarga si istri merasa pekerjaannya di sawah bertambah karena kurangnya pekerja (maksudnya pekerja keluarga). Disinilah si pria harus memberi ganti si wanita, entah itu wanita atau pria.

Namun cara ini sangat tidak kena pada sasaran, sehingga diganti menjadi istilahnya Gajah Toba (horbo). Berjalannya waktu kemudian digantilah menjadi Sinamot, dan sebelum sinamot berupa uang, Sinamot sangat berat; berapa banyak, kerbau, lembu, uang dan emas. Sesuai keadan si paranak (mempelai pria) maka Sinamot itu lambat laun berubah menjadi uang.Sinamot ini pun sebenarnya sudah menjadi suatu kebanggan bagi kedua belah pihak. Dimana anak borunya (anak perempuannya) dihargai dengan harga tinggi, maka berbahagialah keluarga si perempuan. Begitu juga dari pihak paranak, bisa memberi sinamot banyak maka rasa banggalah yang ia dapatkan. Bahkan terkadang ada pihak lelaki yang membiayai semua pengeluaran pernikahan untuk keluarga si perempuan. Lagian, tak ada rugi sebenarnya jika sinamot besar bagi pihak lelaki, toh mereka nanti akan mendapatkan tumpak (amplop dari tamu-tamu yang datang). Biasanya
tumpak itu akan banyak jumlahnya, khan orang batak banyak berarti tamu pun akan banyak.

Tetapi lepas dari itu seharusnya melihat kondisi pihak lelaki dulu. Karena ada pernikahan yang gagal karena harga sinamot yang ditawarkan pihak lelaki tidak sesuai dengan hati keluarga perempuan. Jika tidak ada dos ni roha, bagaimana caranya sukses pernikahan? Gagallah cerita penentunya.

Zaman sekarang seharusnya yang beraku adalah :
Aek godang, do aek laut ,
Dosniroha do sibaen nasaut.

Zaman sekarang, anak gadis bila sudah memiliki gelar (kuliahan) maka harga sinamotnya akan naik.  Itu sich persepsi orang banyak. Makanya bila melihat pernikahan orang batak, mata langsung tertuju pada papan bunga yang ada di acara pernikahannya. Bila si wanita bergelar apalagi sampai S3 maka besar jugalah sinamotnya, jika tamat SMA (mungkin) sinamotnya tidak terlalu banyak. Yah, itu gak mutlak benar juga sich.
Karna ada banyak alasan.Si wanita bergelar tetapi menikah dengan pengangguran, maka bagaimana ceritanya sinamot tinggi? ...Nah, jika kedua belah pihak ada dos ni roha? Lancarlah pernikahan tanpa memikirkan sinamot.

Jadi bagaimana dengan mereka yang kawin lari? Atau mungkin menikah di perantauan tak mengerti adat? Nah, itu dikatakan Mangalua. Jika diartikan secara harfiah maka artinya adalah melepaskan diri. Pernikahan yang terjadi tanpa restu orangtua, atau bisa dikatakan pernikahan yang tidak diadati (mangadati).
Setelah menikah nanti dan memiliki keturunan, pesta pernikahan bisa dimulai lagi. Itulah yang dikatakan Sulang-sulang ni Pahompu atau mangadati, disitu sinamot juga diperhitungkan walau sudah terlambat.
Terlepas dari itu semua, sangat disayangkan jika dua insan yang sudah saling mencintai harus terpisahkan  hanya karena sinamot dan ketidak mengalahannya orangtua. Yaaahhh... Tetapi jika beberapa individu memikirkan harga diri mereka diukur dari uang. Apa boleh dibuat? Pasrah saja pernikahan gagal.
Maka bila ada lelaki yang keberatan dengan nominal yang diminta orangtua wanita. Lakukan saja demo. "TURUNKAN HARGA SINAMOT!!!"


  
                                                                                           sumber : www.kompasiana.com/ulipardede

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa meninggalkan komentar anda disini.

DAFTAR ARTIKEL WBC


'