Jumat, 12 Februari 2016

BATAL KAWIN GARA-GARA SINAMOT

Ale Inaaaaaang….!!!
Bege ma tangis ni anakmu on….
Dang boi iba mangoli dopenang..
Alani sinamot….
Inaaaang…!!

Tak terasa sudah dua jam Tiopan meratapi nasibnya. Nasib pemuda Batak yang hidup sangat sederhana di perantauan. Yang malu akan usianya yang sudah beranjak 30 tahun namun belum juga menikah. Bukan salah dia tak mau menikah.
Bukan pula karena tak punya calon teman hidup. Saat ini, dia tengah menjalin kasih dengan seorang gadis asal Tarutung. Lamtiur namanya. Meski logatnya “Batok’ alias Batak totok, Lamtiur memiliki paras yang tak kalah ayu dengan putri Solo. Kulitnya putih mulus. Rambutnya panjang walau tak terlalu tebal. Tapi adat istiadat telah mengikat mereka selaku anak-anak Batak. Pernikahan tak bisa sesuka hati dan amat sakral. Ada aturan yang wajib dipatuhi. Jika tidak, sanksi adat menanti di depan mata. Jika itu terjadi, “Mau dikemanakan wajahku dan keluargaku!” Tiopan kembali meratap. Tapi hanya di dalam hati. Dia tak ingin masalahnya itu diketahui Lamhot, rekan sekamarnya. Pikirannya seakan tak mau pindah dengan kejadian dua jam lalu.

Lamtiur, yang bekerja sebagai sales promotion girl di sebuah mal menanyakan hal yang paling ditakutinya sejak mereka menjalin cinta tiga tahun yang lalu. Ya, Lamtiur minta dinikahi. “Kapan abang menikahi aku?” tanyanya saat itu. Membuat Tiopan terpaku. Badannya seolah membeku. Namun hatinya seakan ditampar benda yang bergerak cepat sekali. “Kenapa kau tanyakan itu dek?” dia memberanikan diri bicara setelah terdiam 15 menit lamanya. “Kenapa? Abang bilang kenapa? Apa pertanyaan itu?” Lamtiur mendengus. Tampak emosi telah menguasainya. Namun, sebagai gadis Batak, pantang baginya terlihat memaksa.
Karena, sikap itu bisa membuatnya seolah-olah jual murah. “Sudah berapa tahun bang kita pacaran?” Tanya
Lamtiur. “Sekitar tiga tahun dek.” “Selama ini tak pernahkan abang berniat menjalin hubungan ini lebih serius?” wanita itu kembali mencecar Tiopan dengan ‘jurus mautnya’. “Ya adalah dek.” Tiopan menjawab pelan. “Trus kenapa abang keliatan ragu. Apa aku tak pantas mendampingi abang? Sepanjang hidup abang dan menjadi ibu dari anak-anak abang?” “Dek, kau pantas melakoni itu semua. Tapi..” suara Tiopan tercekat. Dia tak mampu meneruskan. “Tapi apa bang?” Tiopan kembali terdiam.

Wajahnya memerah menahan malu. Ingin sekali kakinya berlari meninggalkan teras kos-kosan Lamtiur itu. Ingin sekali dirinya lari menyembunyikan rasa malu itu sembari menyalahkan dirinya. Tapi semunya tak Tiopan lakukan. Melihat sikap Tiopan, Lamtiur kembali mencecar. “Tapi kenapa bang? Tolong jawab aku kalau memang abang sayang.” “Takkah abang iri dengan si Nova dan bang Gultom yang menikah minggu lalu. Atau dengan bang Tepu (Sitepu) dan kak Rina yang sudah punya si Ucok.” “Ya aku mau dek seperti mereka. Tapi kan tak semudah itu.” Akhirnya Tiopan menjawab. “Kau tahu kita ini orang Batak.” “Laiyalah, kalau itu aku juga udah tau bang. Mereka juga orang Batak. Sama dengan kita.” “Tapi bedanya mereka mampu dek. Sementara abang..” Kalimat Tiopan kembali terputus. Kerongkongannya serasa kering. Seakan tak ada udara didalamnya. “Apa karena sinamot bang?”

Lamtiur mencoba menebak. “Apa iya bang?” desaknya. “Iya dek,” Lamhot membenarkan. Suaranya amat pelan, hampir tak terdengar ke telinga Lamtiur. Gadis Batak itu terdiam sebentar mendengarnya. “Tapi bang kan bisa bicarakan ke keluarga abang. Kita juga bisa bicarakan antarkeluarga bang.” Bagi Tiopan, berbicara tentang pernikahan ke keluarganya adalah hal yang paling berat. Sejak di tinggal ayahnya yang meninggal karena darah tinggi, ibunya berjuang mati-matian di ladang untuk menyekolahkan tiga orang adiknya yang masih sekolah. Sementara dia, masih berjuang hidup di perantauan sebagai tukang parkir. Itulah yang membuat Tiopan merasa minder dari kawan-kawannya. Baginya, pendapatan seorang tukang parkir tidaklah mampu mencukupi sinamot gadis lulusan SMA. Karena untuk makan saja, dia terpaksa membagi satu bungkus nasi untuk makan siang dan malam. Tapi, itu semua hanya disimpan Tiopan di dalam hatinya saja. “Bang, serius nyah abang denganku. Biar tahu aku menyampaikannya ke orang Bapak dan Mamak di
kampung.” “Kalau abang diam, salahkah aku jika menganggap abang tak serius dengan hubungan ini?” Cecaran itu kembali ditujukan pada Tiopan. “Abang serius dek. Demi Tuhan abang serius sama kau.” Tak terasa kesungguhan itu membuat air mata Tiopan mengalir. Membasahi kulit pipinya yang kasar dan hitam. “Jadi kenapa abang tak juga mau menikahi aku. Kan sinamot bisa dibicarakan nanti bang. Aku rasa, Bapakku tak akan minta tinggi-tinggi. Asal kita cocok, dia pasti terima,” Lamtiur mencoba memberi gambaran. "Iya dek, bapakmu mungkin sudah maklum. Tapi kan di adat Batak ini bukan cuman bapakmu yang menentukan. Masih ada tulangmu dan bapaktuamu. Kau kanboru sasada, abang yakin mereka pasti minta sinamot besar-besar. Yang jelas sekali abang tak mampu penuhi,” tuturnya. Giliran Lamtiur
yang terdiam mendengar pernyataan Tiopan. Apa yang dikatakan kekasihnya itu ada benarnya. Dia adalah anak perempuan satu-satunya. Pasti tulangnya yang kepala bagian di kantor bupati tak mau sinamotnya rendah. Apalagi bapaktuanya yang perwira tentara itu. Pasti mereka tak mau jika nilai sinamot nanti rendah. Malu sama orang lain. Bagi mereka, sinamot menentukan martabat keluarga.

Baik Tiopan maupun Lamtiur hanya terdiam. Sampai akhirnya larut malam-lah yang membuat mereka harus berpisah malam ini. Lamtiur mengibas-ngibaskan roknya setelah duduk di atas tikar di teras kos-kosan itu. Tiopan pun berdiri meski kakinya masih terasa lemas sebagai dampak memikirkan masalah ini. “Abang pulang ya dek.” Tiopan pamitan. Lamtiur tak menjawab. Tapi bibirnya seakan bergerak ingin mengucapkan sesuatu. Tiopan tak ingin memaksa. Setelah memegang pundak Lamtiur dengan tangan kanannya, dia
melangkah pelan meninggalkan bangunan kayu itu. “Bang!” Panggilan Lamtiur membuat langkah Tiopan terhenti. Ditolehnya wajah manis gadis itu sembari menarik nafas dalam-dalam. Tapi tak sepatah kata tanggapan pun yang diucapnya. “Tadi pagi Bapak nelpon. Aku disuruh pulang ke Tarutung.” “Kapan adek pergi?” Tanya Tiopan memberi respon. “Besok sore bang,” jawab Lamtiur. “Kenapa begitu cepat?” pertanyaan ingin tahu kembali terlontar dari mulut Tiopan. “Ada urusan keluarga yang sangat penting.” Lamtiur memberi penjelasan singkat. Namun dari tingkahnya, terlihat masih ada yang ia sembunyikan. Tiopan berbalik lalu mendekati Lamtiur. Samar-samar, dilihatnya mata gadis itu berkaca-kaca. Selang beberapa detik kemudian, airmatanya mengalir lalu tangispun pecah.

“Maafkan aku bang. Bapak menyusurku pulang. Dan mungkin aku tak balik lagi kesini. Bapak sudah menjodohkan aku dengan paribanku yang di Soposurung.” Pernyataan itu bak guntur bagi Tiopan. Hatinya seperti hancur dilumat ban mobil hardtop. Pedihnya tak terkira. Membuat kaki Tiopan seakan tak mampu lagi menopang tubuh kurusnya. Pandangannya gelap dan pikirannya melayang-layang entah kemana. Setelah berhasil mengendalikan emosinya, Tiopan menguatkan hatinya untuk menatap wajah Lamtiur. Mungkin itu waktu terakhir dia bisa memandang wajah gadis yang ia cintai selama tiga tahun terakhir ini. Kepadanya gadis itulah hatinya terpaut. Tak ada yang lain. Sekuat dia menjaga hati demi cintanya yang murni itu. Diberikannya senyuman. Lamtiur membalasnya dengan tangisan. Dipaksanya memalingkan wajah dari gadis pujaan hatinya itu. Lalu dikumpulkannya tenaga untuk melangkah, berjalan, makin cepat lalu berlari sekencang-kencangnya. Tak diperdulikannya lagi lalulintas sibuk di jalan Sudirman, dekat kos-kosan
Lamtiur. Tiopan menyebrang tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan. Diterobosnya jalan yang mestinya tak dilewati pejalan kaki itu. Beruntung Tuhan masih mengasihinya. Tak satupun kendaraan yang menyentuh tubuhnya. Hanya umpatan kekesalan yang mendarat ke telinganya yang sudah abai dengan dunia itu. Diterobosnya lorong gelap menuju rumah kontrakannya. Sampai akhirnya dia meratap di dalam kamar gelap. Dimana teman sekamarnya Lamhot sudah tertidur lelap. “Inaaaaaaang…!!!!”

Sumber : http://www.kompasiana.com/petikbiru/gara-gara-sinamot-batal-kawin_5500f847a3331153725129cf

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa meninggalkan komentar anda disini.

DAFTAR ARTIKEL WBC


'